BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
William
F. Ogburn dalam Moore (2002), berusaha memberikan suatu pengertian tentang
perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur
kebudayaan baik yang material maupun immaterial. Penekannya adalah pada
pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Perubahan sosial diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat.
Definisi
lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga
kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.
Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan
kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya
(Soekanto, 1990). Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya
perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis dan kebudayaan. Sorokin
(1957), berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan suatu kecenderungan
yang tertentu dan tetap dalam perubahan sosial tidak akan berhasil baik.
Perubahan
sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan
mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi,
filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi
organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas
dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan
kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan
(Soekanto, 1990).
Perubahan
kebudayaan bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial. Pendapat tersebut
dikembalikan pada pengertian masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat adalah
sistem hubungan dalam arti hubungan antar organisasi dan bukan hubungan antar
sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku, yang timbul
karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran
secara simbolik dan bukan warisan karena keturunan (Davis, 1960). Apabila
diambil definisi kebudayaan menurut Taylor dalam Soekanto (1990), kebudayaan
merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga
masyarakat, maka perubahan kebudayaan dalah segala perubahan yang mencakup
unsur-unsur tersebut. Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa perubahan sosial
dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut
paut dengan suatu cara penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam
cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya.
Untuk
mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang
melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab
terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang
dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Menurut Soekanto (1990), penyebab
perubahan sosial dalam suatu masyarakat dibedakan menjadi dua macam yaitu
faktor dari dalam dan luar. Faktor penyebab yang berasal dari dalam masyarakat
sendiri antara lain bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan baru,
pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor penyebab dari luar masyarakat adalah lingkungan fisik sekitar,
peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah bagaimana perubahan sosial terjadi di desa Batupute dan
dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat perubahan sosial
tersebut.
C.
Tujuan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial terjadi di desa
Batupute dan dampak apa yang ditimbulkan dalam dalam masyarakat akibat
perubahan sosial tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perubahan Sosial
Perubahan
sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial
dalam suatu masyarakat. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial itu
selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosialnya, termasuk di
dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu
yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Masih
banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun
mempengaruhi proses suatu perubahan sosial. Kontak-kontak dengan kebudayaan
lain yang kemudian memberikan pengaruhnya, perubahan pendidikan, ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, penduduk yang heterogen,
tolerasi terhadap perbuatan-perbuatan yang semula dianggap menyimpang dan
melanggar tetapi yang lambat laun menjadi norma-norma, bahkan peraturan-peraturan
atau hukum-hukum yang bersifat formal.
Perubahan
itu dapat mengenai lingkungan hidup dalam arti lebih luas lagi, mengenai
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola keperilakuan,
strukturstruktur, organisasi, lembaga-lembaga, lapisan-lapisan masyarakat,
relasi-relasi sosial, sistem-sistem komunikasi itu sendiri. Juga perihal
kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, kemajuan teknologi dan seterusnya.
Ada
pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial itu merupakan suatu respons
ataupun jawaban dialami terhadap perubahan-perubahan tiga unsur utama :
1. Faktor
alam
2. Faktor
teknologi
3. Faktor
kebudayaan
Kalau
ada perubahan daripada salah satu faktor tadi, ataupun kombinasi dua
diantaranya, atau bersama-sama, maka terjadilah perubahan sosial. Faktor alam
apabila yang dimaksudkan adalah perubahan jasmaniah, kurang sekali menentukan
perubahan sosial. Hubungan korelatif antara perubahan slam dan perubahan sosial
atau masyarakat tidak begitu kelihatan, karena jarang sekali alam mengalami
perubahan yang menentukan, kalaupun ada maka prosesnya itu adalah lambat.
Dengan demikian masyarakat jauh lebih cepat berubahnya daripada perubahan alam.
Praktis tak ada hubungan langsung antara kedua perubahan tersebut. Tetapi kalau
faktor alam ini diartikan juga faktor biologis, hubungan itu bisa di lihat
nyata. Misalnya saja pertambahan penduduk yang demikian pesat, yang mengubah
dan memerlukan pola relasi ataupun sistem komunikasi lain yang baru. Dalam
masyarakat modern, faktor teknologi dapat mengubah sistem komunikasi ataupun
relasi sosial. Apalagi teknologi komunikasi yang demikian pesat majunya sudah
pasti sangat menentukan dalam perubahan sosial itu.
B.
Faktor-faktor
yang Dapat Menjadi Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial di Desa Batupute
1. Faktor-faktor
Pendorong
a) Intensitas
hubungan/kontak dengan kebudayaan lain
b) Tingkat
Pendidikan yang maju
c) Sikap
terbuka dari masyarakat
d) Sikap
ingin berkembang dan maju dari masyarakat
2. Faktor-faktor
Penghambat
a) Kurangnya
hubungan dengan masyarakat luar
b) Perkembangan
pendidikan yang lambat
c) Sikap
yang kuat dari masyarakat terhadap tradisi yang dimiliki
d) Rasa
takut dari masyarakat jika terjadi kegoyahan (pro kemapanan)
e) Cenderung
menolak terhadap hal-hal baru
C.
Sistem
Tenur Desa Batupute
Sistem
tenur yang berkembang pada wanatani sejak penjajahan Belanda sampai sekarang
tidak terjadi peminggiran, meskipun dinamika wanatani mengalami perkembangan
dari ladang berpindah, atau kemiri monokultur atau hutan jati monokultur dan
menjadi wanatani ladang menetap, wanatani kebun campuran dominan coklat, dan
atau wanatani pekarangan dominan coklat. Struktur sosial dan sistem sosial
sangat berperan terhadap berkembangnya tipe tenurial pada wilayah tersebut yang
kondisi kepadatan demografisnya rendah. demikian pula sistem tenurial (hubungan
produksi) yang simetris (resiprositas) terhadap dinamika penggunaan lahan (cara
produksi) berperan terhadap inovasi teknologi komoditas pada suatu wilayah.
Gambaran dinamika tenurial di Desa batupute, diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel
1. Dinamika Sistem Tenure yang terdapat pada Wanatani di Desa Batupute :
|
No
|
Nama
Tenurial
|
Periode
Telembaga-nya Tenurial
|
Periode
Terpinggirkan Tenurial
|
Faktor
Penyebab Munculnya Tenurial
|
Tenurial Pengelolaan lahan
|
1
|
Ma‟dumme (Ronda kelompok)
|
1940
– 1970
|
-----
|
pengendalian hama babi dan monyet
pada kelompok peladang/kebun campuran.
|
2
|
Makkampiri
|
-----
|
------
|
||
3
|
Ma’bali
|
|
|
||
4
|
Makkallice
|
-----
|
·
Lahan
kemiri luas/ KK
|
||
5
|
Ma’deppa
|
·
kepadatan
penduduk rendah
|
|||
6
|
Paolili
|
2000 – sekarang
|
·
keterbatasan
tenaga kerja
|
||
7
|
Mallolo
|
1970 – 1980
|
|
·
Peremajaan
kemiri
·
keberlangsungan
hak kepemilikan
|
|
8
|
Upah Tenaga Kerja
|
2000 - sekarang
|
|
·
Penggunaan
traktor tangan
|
|
Tenurial pemilikan dan hak kelola
lahan
|
1
|
Lakara
|
Belanda - Jepang
|
|
Penanda kepemilikan
|
2
|
Sanra
|
1970 - sekarang
|
-----
|
·
Distribusi
lahan
·
Kebutuhan
uang tunai pemilik lahan
|
|
3
|
Teseng
|
2000 - sekarang
|
-----
|
·
Distribusi
hak kelola lahan
·
Patron-klien
·
konversi
kemiri monokultur menjadi kebun campuran coklat.
·
Peningkatan
produktivitas lahan kemiri.
·
Distribusi
(bagi lahan) pada tuan tanah dengan kaum ata (patron-klien)
|
Sumber : Data Primer
Setalah Diolah, 2007
Berdasarkan
Tabel 1 di atas, periode tahun 1940 -1970 pola tenurial yang berkembang di Desa
Batupute mempunyai kesamaan tipe feodal Amerika latin dibanding tipe feodal
Asia (world Bank, 1975), dengan ciri yang dominan :
a) Konsentrasi
pemilikan yang tinggi,
b) Ketidakmerataan
sosial yang tinggi,
c) Ketidakmerataan
ekonomi yang tinggi,
d) Produktifitas
tanah yang rendah,
e) Tingkat
teknologi yang rendah,
f) Tenaga
kerja disediakan oleh penduduk yang migrasi, atau pemilik tanah-tanah berlahan
tidak cukup untuk resistensi subsisten selama setahun,
g) Dioperasikan
oleh tenaga kerja perhambaan (serfs) berpola patron-klien . Pola ini
berkembang, karena pengaruh sistem sosial, struktur ekonomi, situasi
demografis, sistem pertanian dan kondisi basis sumberdaya lokal, serta belum
adanya pengaruh sistem ekonomi dari wilayah yang lebih luas (regional, nasional
dan global), sistem ekonomi skala lokal.
Pada periode 1970 -1980 pola tenurial yang
berkembang tipenya bipolar tipe feodal Amerika latin dan tipe komunal
tradisional. Tipe feodal Amerika latin berkembang pada lapisan sosial bangsawan
dengan golonga ata pada lahan ongko, sedangkan tipe komunal tradisional
berkembang pada golongan masyarakat menengah pada lahan tanah negara bebas
melalui tenurial lakara dan wanatani ladang berpindah sebagai proses awal
pembentukan hutan kemiri monokultur dan hutan jati.
Periode tahun 1990 – sekarang, pola
tenurial yang berkembang bersifat tipe pasar ekonomi, karena pengaruh :
1) Sistem
politik dan situasi politik,
2) Struktur
ekonomi yang lebih luas (regional, nasional, dan global),
3) Sistem
hukum yang sentralisasi, dan
4) Situasi
demografis, dimana jumlah penduduk mengalami peningkatan.
D.
Faktor
dan variabel yang berpungsi terjadinya Dinamika Tenurial
Hasil
analisis diskriminan menunjuk-kan faktor–faktor yang berperan terhadap
terjadinya dinamika tenurial pada Sub DAS Minraleng Hulu, yaitu faktor
demografi, teknologi, biofisik lahan, akses terhadap infrastruktur wilayah, dan
faktor kelembagaan. Hasil Uji statistik Wilk‟s Lamda dan Univariated F ratio
menggambarkan Konstribusi masing-masing faktor tersebut dan variabel
penyusunnya dalam membedakan kelompok tenurial komunal, individu-komunal, dan
individual ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor
Pembeda Kelompok Petani Subsisten, Komersil dan Kapitalis di Sub DAS Minraleng
Hulu
Sumber
: Data Primer Setalah Diolah, 2007
Peran masing-masing faktor beserta variabelnya pada
Tabel 38 di atas terhadap dinamika katagori tenurial wanatani di Sub DAS
Minraleng Hulu diuraikan berikut ini.
1. Demografi
Diferensiasi
pemilikan lahan akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya sistem teknologi
pertanian persawahan bercorak komersil atau kapitalis di Desa Timpuseng ,
berimplikasi pada perubahan tenurial ke arah individual yang sebelumnya
individu-komunal pada saat masih menggunakan tenaga ternak sapi kombinasi
tenaga manusia. Berkembangnya tenurial individualis dipersawahan menyebabkan
petani gurem yang luas lahan sawahnya < 0,5 ha dan tidak punya lahan kering
tidak tertampung dalam penyediaan lapangan kerja untuk resistensi subsistensi
pangan pokoknya selama setahun, terpaksa harus melakukan migrasi ke provinsi
lain. Tenaga kerja petani gurem hanya tertampung potensi tenaga kerjanya pada
saat pengelolaan lahan sawah dan panen padi yang merupakan puncak keterbatasan
ketersediaan tenaga kerja bagi lapisan petani berlahan luas ( > 1 ha).
Migrasi petani tersebut terjadi di desa Timpuseng Kecamatan camba.
Petani
gurem dan tidak punya lahan persawahan di Kampung baru tidak melakukan migrasi
dikarenakan adanya wanatani gula aren sebagai matapencaharian untuk
mempertahankan resistensi subsistensi pangan pokoknya dari menjual arennya pada
pasar kecamatan setempat dua kali dalam seminggu, disamping dari sawah dan
ladang sebagai tambahan jaminan subsistensi pada saat puncak paceklik menjelang
musim panen padi dipersawahan. Sistem tenurial yang berkembang pada gula aren,
yaitu sistem bagi hasil secara rata produksi gula aren (50%:50%) antara pemilik
pohon aren sekaligus juga pemilik tungku pembuatan gula aren dengan buruh tani
pembuat gula aren. Kelebihan potensi tenaga kerja dari lapisan petani tdk punya
lahan sawah yang terdapat pada Kampung Baru Desa Limampoccoe, juga tertampung
pada tenurial ladang berpindah secara kelompok dan tenurial usahatani
persawahan tadah hujan menggunakan peralatan tenaga hewan kombinasi tenaga
manusia.
Pada
petani persawahan berwatak komersil- kapitalis terintegrasi dengan sistem
wanatani ladang bero, dan hutan rakyat campuran juga berwatak komersil kapitalis
yang terdapat di desa Limampoccoe, sistem tenurial yang berkembang bersifat
individu, seperti paje lahan, memarginalkan sistem teseng dan sanra yang
dulunya berlaku saat belum digunakannya teknologi traktor tangan.
Petani
wanatani di Desa Batupute yang tidak punya lahan persawahan melakukan ladang
bero pada lahan miliknya atau meremajakan/mengkonversi lahan kemiri monokultur
dan atau lahan jati monokultur menjadi kebun campuran dominan coklat dengan
sistem tenurial bagi lahan secara rata (50% pemilik lahan dan 50 % pula petani
pekebun) terhadap lahan yang diremajakan saat coklatnya telah berproduksi.
Hasil tanaman semusim saat diladangi menjadi milik peladang bero untuk
resistensi subsistensi pangannya dengan menjual hasil ladangnya (Cabe, tomat,
kacang tanah, jahe, jagung, ) dan uang hasil penjualannya untuk membeli pangan
pokok dan kebutuhan primer lainnya.
Sistem
wanatani kebun campuran dan wanatani pekarang yang keduanya dominan coklat
dengan watak komersil kapitalis, tenurial yang berkembang juga individu. Kedua
Wanatani yang terdapat di Desa batupute ini juga menciptakan diferensiasi
sosial, hanya saja distribusi lahan diantara penduduk belum terjadi ketimpangan
(rata-rata luas lahan penduduk > 1ha/KK) dikarenakan ratio pertumbuhan
penduduk terhadap luas desa masih rendah.
2. Teknologi
Komoditas
yang diusahakan penduduk pada lahan persawahan, ladang bero, ladang berpindah,
kebun campuran dan pekarangan dan untuk tujuan komersil sampai kapitalis, maka
tenurial yang berkembang dominan berciri individualis. Sedang pada lahan yang
diusahakan untuk tujuan pokok subsistensi pada lahan sawah dan ladang
berpindah, maka tenurial yang berkembang adalah komunal - individu.
Pengecualian pada hutan kemiri monokultur, maka meskipun rumah tangga petani
mengusahakan kemiri untuk tujuan subsistensi, komersil ataupun kapitalis,
sistem tenurialnya tetap bercirikan individu-komunal. Hanya saja prodsuktifitas
hutan kemiri sangat menurun sehingga terjadi konversi lahan ke wanatani atau
sistem pertanian lainnya.
Sarana
produksi pupuk dan pestisida, serta peralatan mekanis traktor tangan, mesin
pengolah hasil pertanian dan sarana transportasi, mengarahkan dinamika tenurial
ke individualis pada tahapan pengelolaan lahan dan pemeliharaan lahan, tetapi
pada saat panenan masih terdapat tenurial individu-komunal, yaitu tenunan
”massaro ase” dengan pembagian hasil dapat dilihat pada Tabel Ms . Hal ini
terjadi pada lahan persawahan yang didukung kesuburan biofisik ( topografi yang
datar dan ketersediaan air yang memadai ) di desa Timpuseng dan sebagian besar
dusun dan perkampungan di Desa Limampoccoe. Pada wanatani ladang (menetap/bero
dan berpindah), hutan jati dan hutan kemiri monokultur yang masih menggunakan
peralatan sederhana parang, cangkul dan kampak , serta persawahan tanpa
peralatan mekanis (menggunakan tenaga kerja ternak sapi dan tenaga manusia),
maka Tenurial yang berkembang berciri individidual - komunal atau komunal
-individual. Pengecualian pada kebun campuran dominan coklat dan wanatani
pekarangan dominan coklat dengan peralatan manual, tenurial yang berkembang
berciri individualis pada seluruh tahapan pengelolaan wanatani.
3.
Infrastruktur
Makin rendah akses jalan, perumahan dan pasar, maka
sistem tenure makin ke arah individu, sedang makin tidak tersedia infrastruktur,
seperti jalan, pasar dan dekat perumahan tersebut, tenurial yang berkembang ke
arah komunal. Lahan persawahan dan wanatani yang tidak terdapat akses jalan,
jauh dari permukiman dan pasar , tenurial yang berkembang adalah
komunal-individu.
E.
Fungsi
Diskriminan Dinamika Tenurial
Berdasarkan
struktur matriks dan summary of canonical discriminant fungtions dari hasil analisis statistika diskrimanan,
diperoleh suatu fungsi diskriminan yang dapat digunakan dalam
mengklasifikasikan sistem tenurial yang dianut petani apakah komunal,
individu-komunal, Individu-individu atau individu penyakapan.
F.
Indeks
keanekaragaman berbagai jenis pola wanatani
Desa
Batupute Hasil perhitungan indeks keanekaragaman berbagai jenis pola wanatani
di Desa Batupute menunjukkan usaha wanatani kemiri monokultur mempunyai indeks
keanekaragaman yang tertinggi dibanding wanatani lainnya yang cenderung seperti
hutan alam (Tabel 3), yaitu mengikuti kurva ”J” terbalik, disusul wanatani
kebun campuran, wanatani jati monokultur, wanatani pekarangan dan terendah
indeks keanekaragamannya pada wanatani ladang.
Table 3. Average
of Plant Diversity Index on Each Agroforestry Pattern at Batupute Village.
Indeks keanekaragaman jenis pada setiap
tingkatan struktur tegakan pada wanatani kemiri monokultur menunjukkan strata D
mempunyai keanekaragaman yang tertinggi, disusul strata C, B, dan strata A. Hal
ini mengindikasikan bahwa pengelolaan kemiri cenderung tidak ada, hanya
dikelola pada saat pemungutan kemiri, sehingga pemanfaatan ruang tumbuh pada
berbagai ruang tumbuh sama sekali tidak ada.
Pada wanatani pekarangan dominan coklat
menunjukkan indeks keanekaragaman jenis tertinggi terdapat pada strata C,
disusul strata B, A, dan strata D. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan
dan pengelolaan ruang tumbuh di bawah strata A sangat intensif, sedang pada
ruang tumbuh lantai hutan rendah keanekaragamannya, dikarenakan penutupan tajuk
coklat dan serasah daunnya menimbulkan efek alelopati yang mematikan vegetasi
pada lantai hutan.
Pada usaha wanatani kebun campuran, indeks
keanekaragaman jenisnya antara strata A, B, dan strata C cenderung hampir sama,
ini menunjukkan pengelolaan ruang tumbuh pada perbagai strata ruang tumbuh
dimanfaatkan secara optimal melalui pengaturan jarak tanam, dan assosiasi antar
jenis tumbuhan untuk tujuan komersil. Sedang strata D lebih rendah dikarenakan
80-90% lantai hutan/kebun campuran tertutupi strata lapisan tajuk di atasnya.
Pada wanatani ladang, maka indeks keanekaragaman
tertinggi terdapat pada strata D, disusul strata A. Hal ini menunjukkan
pemanfaatan ruang tumbuh permukaan tanah (lantai hutan) sangat intensif
dimanfaatkan dan dikelola untuk penanaman tanaman semusim, sedang untuk strata
A disisakan jenis komersil penanda kepemilikan lahan saat akan ditinggalkan
seperti kemiri dan atau jati apabila lahan tersebut tidak akan dikonversi
menjadi kebun campuran.
G.
Biaya
wanatani di Desa Batupute
Hasil
analisis biaya dan pendapatan petani wanatani
di Desa Batupute (Tabel 5) menunjukkan wanatani
pekarangan dominan coklat memberikan pendapatan
tertinggi dibanding pada sawah tadah hujan
yang terdapat pada desa bersangkutan yang
hanya dapat ditanami tanaman musiman
(terutama padi atau jagung pada musim hujan).
Lebih
besarnya pendapatan yang dapat diperoleh
dari pola wanatani berbentuk pekarangan,
kebun campuran dan lading menetap
dibanding hutan kemiri monokultur dan hutan
jati, menyebabkan banyak lahan penduduk yang
mengkonversi hutan kemiri dan hutan jatinya
menjadi wanatani pekarangan, atau kebun campuran
dengan terlebih dahulu melalui proses berladang
secara bero.
Konversi
menjadi sawah tidak banyak dilakukan
dikarenakan faktor pembatas iklim wilayah
yang hanya 3–4 bulan musim kerjanya dan
tidak tersedianya pengairan non teknis atau
sungai besar untuk sumber air secara
pompanisasi. Biaya yang timbul dari berbagai pola wanatani di desa bersangkutan sebagian besar biaya tenaga kerja keluarga yang dinilai Rp 15.000 per hari, dikarenakan masih
menggunakan peralatan manual,
kecuali pada persawahan yang sudah
menggunakan traktor tangan.
Table 8. Farmer
Costs and Income on Several Agroforestry Pattern at Batupute Village
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perubahan sosial selalu menimbulkan
perubahan dalam masyarakat, salah satunya adalah globalisasi yang menimbulkan
berbagai dampak baik positif maupun negative dari sisi positif misalnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati seluruh kelompok
sosial masyarakat.
2.
Faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya dinamika tenurial, yaitu demografi, teknologi, biofisik lahan, akses
terhadap infrstruktur dan kelembagaan. Variabel imigrasi penduduk, luas lahan
penduduk, luas lahan sawah, dan luas lahan sakap dan milik variabel yang
melingkupi faktor demografi ; Variabel jumlah komoditas tanaman yang
diusahakan, jenis dan jumlah vestisida yang digunakan, Jenis dan jumlah
peralatan budidaya, jenis dan variabel jenis dan jumlah peralatan pengolah
hasil pertanian yang melingkupi faktor teknologi ; dan jumlah sistem penguasaan
lahan yang dilakukan yang melingkupi faktor kelembagaan.
3.
Tahap awal tenurial bersifat komunal
tradisional dipengaruhi oleh sistem ekonomi skala lokal, sistem pertanian
tradisional berbasis sumberdaya lokal dan demografi penduduk yang rendah dengan
ketersediaan lahan pertanian yang luas. Tahap pertengahan sampai sekarang (1980
– sekarang), tenurial yang berkembang bertipe pasar ekonomi, pengaruh sistem
politik otoritarian, struktur ekonomi mengglobal, sistem hukum sentralisasi dan
demografi penduduk tinggi dengan ketersediaan lahan pertanian terbatas.
B.
Saran
Perubahan sosial
dalam masyarakat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, olehnya itu kita
sebagai bagian dari kelompok sosial harus berusaha mengendalikan perubahan itu
ke arah yang positif agar budaya yang terbentuk dari perubahan sosial dapat
memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang makmur dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Dassir, Muhammad. 2012. Dinamika Sistem Tenure dan Formasi Sosial
Petani Membangun dan Melestarikan Hutan. P3i Press. Makassar.
Fausi. N. 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.
Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Hayami, Y dan Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa, Suatu Pendekatan
Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Terjemahan oleh Sahara, D. Noer.
Penerbit yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sumaryanto, Siregar, M. dan Wahida. 2002. Penguasaan tanah, Sistem Usahatani dan
Pendapatan Rumahtangga Petani di Daerah Beririgasi DAS Brantas. Laporan
Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian IPB Bogor
bekerjasama dengan IFPRI . Bogor.
Skousen, D. 2001. Sang Maestro “ Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi.
Terjemahan oleh Santoso, B.W.T. 2006. Prenada media Group. jakarta
Scott. J. C. 1976. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
Penerbit LP3ES. Jakarta.
Wiradi, G. 1999. Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir. Penerbit Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.
Post a Comment
Post a Comment