Laporan Lengkap Praktek Lapang Ilmu Serangga Hutan





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Serangga adalah kelompok utama hewan beruas (Antthropoda) yang bertungkai enam (tiga pasang), karena itula mereka dengan Hexapoda. Serangga memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, inilah yang menyebabkan keanekaragaman dan jumlah serangga melimpah di bumi.
Di hutan serangga merupakan bioindikator kesehatan. Penggunaan serangga sebagai bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan untuk menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik lingkungan. Sejumlah kelompok serangga seperti kumbang, semut, kupu-kupu dan rayap memberikan respons yang khas terhadap tingkat kerusakan hutan sehingga memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk mendeteksi perubahan lingkungan akibat konversi hutan oleh manusia yang sekaligus menjadi indikator kesehatan hutan.
Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
Serangga memiliki nilai penting antara lain nilai ekologi, endemisme, konservasi, pendidikan, budaya, estetika, dan ekonomi. Penyebaran serangga dibatasi oleh faktor-faktor geologi dan ekologi yang cocok, sehingga terjadi perbedaan keragaman jenis serangga. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan iklim, musim, ketinggian tempat, serta jenis makanannya. Salah satu peran serangga dalam habitat alami adalah sebagai perombak bahan organik tanah dan sebagai makhluk penyeimbang lingkungan alami.

B.       Tujuan Praktek Lapang
Adapun tujuan dari dilaksanakannya praktek lapang ini, adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui habitat tempat serangga hidup pada sekosistem hutan
2.      Untuk membedakan seragga yang aktif pada siang hari dan serangga yang aktif pada malam hari.
3.      Untuk mengoleksi serangga yang hidup di berbagai habitat

C.      Manfaat Praktek Lapang
Manfaat dari praktek lapang ini adalah agar mahasiswa dapat mengenal berbagai jenis serangga yang hidup di berbagai habitat dan kondisi, serta data jenis serangga yang diperoleh dapat menjadi acuan pada penelitian selanjutnya.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Peranan Seranga Hutan
Serangga pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa kehadiran suatu serangga, maka kehidupan suatu ekosistem akan terganggu dan tidak akan mencapai suatu keseimbangan. Peranan serangga dalam ekosistem diantaranya adalah sebagai polinator, dekomposer, predator (pengendali hayati), parasitoid (pengendali hayati), hingga sebagai bioindikator vbagi suatu ekosisitem.
Polinator Secara umum serangga tidak berperan langsung pada proses polinasi, serangga hanya bertujuan memperoleh nektar dari bunga yaitu sebagai sumber makanannya. Namun dalam hal ini serangga memiliki peran yang sangat penting, secara tidak sengaja polen atau serbuk sari menempel dan terbawa pada tubuh serangga hingga polen tersebut menempel pada kepala putik bunga lain dan terjadilah proses polinasi. Seperti yang disampaikan oleh Satta et al., (1998) dalam laporannya bahwa lebah lokal memiliki peranan penting pada proses polinasi dari bunga Sulla (Hedysarum conorarium L.) di daerah Mediterania. Lebah lokal anggota ordo Apidae (A. mellifera) dan ordo Anthoporidae (E. numida) mampu meningkatkan prosentase terjadinya polinasi silang serta miningkatkan produksi biji tumbuhan sulla. Williams I.H.(2002) juga menambahkan dalam laporannya bahwa lebih dari 140 spesies tanaman di Eropa, diuntungkan dengan adanya peran serta serangga dalam proses penyerbukan atau polinasi. Lebah atau serangga jenis lain secara tidak sengaja membawa pollen dari satu bunga ke bunga vlainnya, sehingga sangat membantu proses polinasi.
Dekomposer Serangga memiliki peranan yang sangat penting dalam proses dekomposisi terutama di tanah. Kotoran atau feases dari hewan dapat mengakibatkan pencemaran terhadap padang rumput. Tinja sapi yang dibiarkan dipermukaan tanah dapat mematikan atau memperlambat pertumbuhan tanaman rumput, serta menyebabkan tanaman di sekitarnya kurang disukai ternak sapi. Selain itu kotoran atau tinja tersebut dapat pula sebagai tempat meletakan telur bagi vektor pembawa penyakit, dan merupakan tempat hidup bagi larva parasit pada saluran pencernaan ruminansia. Namun dengan keberadaan beberapa spesies kumbang pendekomposisi tinja, maka hal tersebut dapat diminimalisir (Shahabuddin, et al., 2005).
Kumbang yang bersifat dekomposer biasanya merupakan anggota dari ordo Coleoptera, dan famili Scarabaeidae, yang lebih dikenal sebagai kumbang tinja. Kumbang ini memiliki perilaku makan dan reproduksi yang dilakukan di sekitar tinja, dengan demikian kumbang tinja sangat membantu dalam menyebarkan dan menguraikan tinja sehingga tidak menumpuk di suatu tempat. Aktifitas ini secara umum berpengaruh terhadap struktur tanah dan siklus hara sehingga juga berpengaruh terhadap tumbuhan disekitarnya. Dengan membenamkan tinja, kumbang dapat memperbaiki kesuburan dan aerasi tanah, serta meningkatkan laju siklus nutrisi.
Dekomposisi tinja pada permukaan tanah, oleh kumbang tinja menyebabkan penurunan pH tanah setelah 9 minggu dan meningkatkan kadar nitrogen, yodium, fosfor, magnesium, dan kalsium sampai 42-56 hari setelah peletakan tinja v(Gallante, E. dan Garcia, A.M,.2001).  Predator Dalam kehidupan di suatu ekosistem, serangga juga berperan sebagai agen pengendali hayati, kaitannya dalam predasi. Serangga berperan sebagai predator bagi mangsanya baik nematoda, protozoa, bahkan sesama serangga lain. Seperti yang dilaporkan oleh Marheni (2003) bahwa, wereng batang coklat mempunyai banyak musuh alami di alam terutama predator, mencapai 19–22 famili dan parasitoid 8–10 famili. Predator–predator tersebut cocok untuk pengendalian wereng batang coklat karena kemampuannya memangsa spesies lain (polyfag) sehingga ketersediaannya di alam tetap terjaga walaupun pada saat populasi wereng tersebut rendah atau di luar musim tanam.
Dari hasil penelitiannya, dapat diketahui bahwa predator Paradosa pseudoanulata merupakan predator yang paling efektif dalam menekan populasi wereng batang coklat dan intensitas serangan terhadap padi. Dalam Santoso (2007) melaporkan pula bahwa terdapat sejenis lalat Diatracophaga striatalis (Lalat Jatiroto), dimana larvanya dapat menyerang dan memangsa hama penggerek Chilo yang berada dalam lubang tebu dan menghisap cairan haemolimpnya sampai mati kering. Dari uraian tersebut, dapat kita ketahui bahwa serangga serangga predator sangat vmembantu atau berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.  Parasitoid Serangga parasitoid adalah serangga yang berperan sebagai parasit serangga lain yang merugikan manusia atau ternak. Spalangia endius dan S. nigroaenea serta Pacchyrepoideus vindemiae merupakan parasitoid yang menyerang pupa lalat rumah dan lalat kandang untuk kehidupan larva dan pupanya, sedangkan dewasanya hidup bebas (Koesharto, 1995).
Pada kehidupan parasitoid secara umum makanannya berupa nektar dan haemolim inang. Haemolim inang digunakan dalam pembentukan dan pematangan telur sedangkan nektar dipelukan sejak awal sebagai sumber energi. Berbeda dengan diptera yang memiliki alat penusuk pada proboscisnya, parasitoid termasuk dalam ordo Hymenopteratidak dapat menembus kulit puparium.cairan hemolom diperoleh dari rembesan yang keluar waktu menusukan ovipositor ke dalam pupa lalat (Stireman, 2006).
Bioindikator Serangga merupakan hewan yang sangat sensitif/responsif terhadap perubahan atau tekanan pada suatu ekosisitem dimana ia hidup. Penggunaan serangga sebagai bioindikator kondisi lingkungan atau eksosisitem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem.
Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera,Diptera, Trichoptera dan Plecoptera yang kelimpahan atau kehadirannya mengindikasikan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak dapat hidup pada habitat yang sudah tercemar. Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutantropis (Shahabuddin, 2003). Ditambahkan oleh Wardhani (2007) dalam laporannya bahwa, larva Odonta juga berpotensi sebagai bioindikator pencemaran air, karena larva ini sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Bila kualitas air sungai sebagai habitatnya tercemar, maka larva odonata akan mati.
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan Antarktika. Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dan lain-lain.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dan sebagainya.
Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga. Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.
Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar (Tarumingkeng, 2001).
Manfaat serangga antara lain sebagai penyerbuk (pollinator) andal untuk semua jenis tanaman. Di bidang pertanian serangga berperan membantu meningkatkan produksi buah-buahan dan biji-bijian. Produksi buah-buahan dan biji-bijian meningkat sebesar 40 % berkat bantuan serangga dengan kualitas yang sangat bagus. Di Eropa dan Australia berkembang jasa penyewaan koloni serangga untuk penyerbukan yang melepas kawanan lebah menjelang tanaman berbuah. Serangga juga berperan sebagai organisme perombak (dekomposer) yang mendegradasi kayu yang tumbang, ranting, daun yang jatuh, hewan yang mati dan sisa kotoran hewan. Jenis-jenis seperti rayap, semut, kumbang, kecoa hutan dan lalat akan merombak bahan organik menjadi bahan anorganik yang berfungsi untuk regenerasi dan penyubur tanaman. Serangga juga berperan sebagai pengendali fitofagus (serangga hama bagi tanaman), sehingga tercipta keseimbangan alam yang permanen di dalam ekosistem hutan. Jika proses dalam rantai makanan itu terjaga maka dinamika ekosistem hutanpun akan stabil.
Dari segi pengelolaan hutan, peranan serangga perlu diarahkan kepada pendugaan seberapa jauh serangga tertentu atau dalam hubungan simbiose yang seperti apakah sehingga serangga mempunyai peran sebagai spesies indikator, untuk memprediksi tingkat kepunahan spesies lain atau perubahan mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu. Penggunaan bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan. Bioindikator (Indikator biologi) adalah jenis atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya akan berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif atau resisten (Speight et.al., 1999).
McGeoch (1998) dalam Shahabuddin, 2003 menyatakan bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok organsime yang sensitif atau dapat memperlihatkan gejala dengan cepat terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik. Pearson (1994) membagi indikator biologi atas tiga yakni :
1.        Jenis indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadinya perubahan di lingkungan tersebut. Jenis yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan (Stanoecious) sangat tepat digolongkan sebagai jenis indikator. Apabila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi maka jenis tersebut merupakan indikator positif, sebaliknya ketidakhadiran atau hilangnya jenis tersebut merupakan indikator negatif
2.        Jenis monitoring, mengindikasikan adanya polutan di lingkungan baik kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Monitoring bersifat sensitif dan rentan terhadap berbagai polutan, sehingga sangat cocok untuk menunjukan kondisi yang akut dan kronis.
3.        Jenis uji, adalah jenis yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu di alam.
Penggunaan serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera, Odonata, Diptera, Trichoptera , Plecoptera,Coleoptera,family Scarabidae , Cicindeliadae, Carabidae(Spellerberg,1995). Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis.
Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai biodindikator tersebut adalah famili Scarabidae, Cicindeliadae dan Carabidae dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera, serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000 dalam Shahabudin, 2003).
Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997) menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada ekosistem hutan. (Culotta 1996, dalam Alfaro & Singh, 1997) melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktivtas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan.
Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang bubuk dari ordo Coleopterafamili Scarabidae terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda yakni hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian Tengah (Central Amazon ). Laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % di hutan alam dibandingkan padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah jenis kumbang bubuk di padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap jenis kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga lainnya menunjukan kestabilan ekosistem hutan yang semakin mantap.
Kumbang bubuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat kerusakan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasit vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang bubuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang bubuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan perbedaan floristik (Komposisi spesies,biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivora (seperti pada ngengat dan kupu - kupu).
Studi awal oleh Sahabuddin (2003) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap keanekaragaman kumbang bubuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang bubuk tertentu dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya kerusakan habitat sehingga potensi diusulkan sebagai salah satu spesies indikator. Meskipun demikian hal masih perlu dikaji lebih jauh terutama dengan melakukan penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda. Kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator terhadap kesehatan hutan (Alfaro dan Singh, 1997)
B.       Klasifikasi Ordo Serangga
1.    Ordo Orthoptera
Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai predator pada serangga lain.
Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena-vena menebal/mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan.
Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap-tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen).
Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang maxilla dengan masing-masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan palpus labialisnya. Metamorfosis sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur —> nimfa —> dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya. Beberapa jenis serangga anggota ordo Orthoptera ini adalah :
a.         Kecoa (Periplaneta sp)
b.        Belalang sembah/mantis (Otomantis sp)
c.         Belalang kayu (Valanga nigricornis)

2.    Ordo Hemiptera
Ordo Hemiptera (bangsa kepik) / kepinding. Ordo ini memiliki anggota yang sangat besar serta sebagian besar anggotanya bertindak sebagai pemakan tumbuhan (baik nimfa maupun imago). Namun beberapa di antaranya ada yang bersifat predator yang mingisap cairan tubuh serangga lain.
Umumnya memiliki sayap dua pasang (beberapa spesies ada yang tidak bersayap). Sayap depan menebal pada bagian pangkal (basal) dan pada bagian ujung membranus. Bentuk sayap tersebut disebut Hemelytra. Sayap belakang membranus dan sedikit lebih pendek daripada sayap depan. Pada bagian kepala dijumpai adanya sepasang antene, mata facet dan occeli.
Tipe alat mulut pencucuk pengisap yang terdiri atas moncong (rostum) dan dilengkapi dengan alat pencucuk dan pengisap berupa stylet. Pada ordo Hemiptera, rostum tersebut muncul pada bagian anterior kepala (bagian ujung). Rostum tersebut beruas-ruas memanjang yang membungkus stylet. Pada alat mulut ini terbentuk dua saluran, yakni saluran makanan dan saluran ludah. Metamorfosis bertipe sederhana (paurometabola) yang dalam perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Bnetuk nimfa memiliki sayap yang belum sempurna dan ukuran tubuh lebih kecil dari dewasanya. Beberapa contoh serangga anggota ordo Hemiptera ini adalah :
a.         Walang sangit (Leptorixa oratorius)
b.        Kepik hijau (Nezara viridula)
c.         Bapak pucung (Dysdercus cingulatus)


3.    Ordo Homoptera
Ordo Homoptera (wereng, kutu dan sebagainya) Anggota ordo Homoptera memiliki morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan pokok antara keduanya antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan rostumnya. Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang homogen, bisa keras semua atau membranus semua, sedang sayap belakang bersifat membranus. Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari bagian posterior kepala. Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax umumnya sama dengan anggota Hemiptera. Tipe metamorfosis sederhana (paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama tanaman.
Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-kutuan, seperti :
a.         Wereng coklat (Nilaparvata lugens)
b.        Kutu putih daun kelapa (Aleurodicus destructor)
c.         Kutu loncat lamtoro (Heteropsylla sp.)

4.         Ordo Coleoptera
Ordo Coleoptera (bangsa kumbang) Anggota-anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain. Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra. Apabila istirahat, elytra seolah-olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan.
Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala. Metamorfose bertipe sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong (pupa) —> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal (tipe oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong tidak memerlukan pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas/libera. Beberapa contoh anggotanya adalah :
a.         Kumbang badak (Oryctes rhinoceros)
b.        Kumbang janur kelapa (Brontispa longissima)
c.         Kumbang buas (predator) (Coccinella sp)

5.    Ordo Lepidoptera
Ordo Lepidoptera (bangsa kupu/ngengat) Dari ordo ini, hanya stadium larva (ulat) saja yang berpotensi sebagai hama, namun beberapa diantaranya ada yang predator. Serangga dewasa umumnya sebagai pemakan/pengisap madu atau nektar.
Sayap terdiri dari dua pasang, membranus dan tertutup oleh sisik-sisik yang berwarna-warni. Pada kepala dijumpai adanya alat mulut seranga bertipe pengisap, sedang larvanya memiliki tipe penggigit. Pada serangga dewasa, alat mulut berupa tabung yang disebut proboscis, palpus maxillaris dan mandibula biasanya mereduksi, tetapi palpus labialis berkembang sempurna. Metamorfose bertipe sempurna (Holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva bertipe polipoda, memiliki baik kaki thoracal maupun abdominal, sedang pupanya bertipe obtekta. Beberapa jenisnya antara lain :
a.         Penggerek batang padi kuning (Tryporiza incertulas)
b.        Kupu gajah (Attacus atlas)
c.         Ulat grayak pada tembakau (Spodoptera litura)

6.    Ordo Diptera
Ordo Diptera (bangsa lalat, nyamuk) Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter. Pada kepalanya juga dijumpai adanya antene dan mata facet. Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap. Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :
a.         Bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum
b.        Bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum
c.         Bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc.
Metamorfosenya sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva tidak berkaki (apoda_ biasanya hidup di sampah atau sebagai pemakan daging, namun ada pula yang bertindak sebagai hama, parasitoid dan predator. Pupa bertipe coartacta. Beberapa contoh anggotanya adalah :
a.         Lalat buah (Dacus sp)
b.        Lalat predator pada Aphis (Asarcina aegrota)
c.         Lalat rumah (Musca domestica)
d.        Lalat parasitoid (Diatraeophaga striatalis)

7.    Ordo Hymenoptera
Ordo Hymenoptera (bangsa tawon, tabuhan, semut). Kebanyakan dari anggotanya bertindak sebagai predator/parasitoid pada serangga lain dan sebagian yang lain sebagai penyerbuk. Sayap terdiri dari dua pasang dan membranus. Sayap depan umumnya lebih besar daripada sayap belakang. Pada kepala dijumpai adanya antene (sepasang), mata facet dan occelli. Tipe alat mulut penggigit atau penggigit-pengisap yang dilengkapi flabellum sebagai alat pengisapnya. Metamorfose sempurna (Holometabola) yang melalui stadia : telur-> larva–> kepompong —> dewasa. Anggota famili Braconidae, Chalcididae, Ichnemonidae, Trichogrammatidae dikenal sebagai tabuhan parasit penting pada hama tanaman. Beberapa contoh anggotanya antara lain adalah :
a.         Trichogramma sp (parasit telur penggerek tebu/padi)
b.        Apanteles artonae (tabuhan parasit ulat Artona)
c.         Tetratichus brontispae (parasit kumbang)

8.    Ordo Odonata
Ordo Odonata (bangsa capung/kinjeng) Memiliki anggota yang cukup besar dan mudah dikenal. Sayap dua pasang dan bersifat membranus. Pada capung besar dijumpai vena-vena yang jelas dan pada kepala dijumpai adanya mata facet yang besar. Metamorfosis tidak sempurna (Hemimetabola), pada stadium larva dijumpai adanya alat tambahan berupa insang dan hidup di dalam air. Anggota-anggotanya dikenal sebagai predator pada beberapa jenis serangga keecil yang termasuk hama, seperti beberapa jenis trips, wereng, kutu loncat serta ngengat penggerek batang padi.

9.    Ordo Dermaptera
Ordo Dermaptora berasal dari bahasa yunani yaitu derma (kulit) dan ptera (sayap). Kata dermaptera tersebut menunjukkan tekstur dan tegmina (penutup tubuh) dan dasar dari sayap. Dermaptera mudah dikenali dengan cirri ujung belakangnya seperti sapit serta badannya datar, sempit dan berwarna coklat atau hitam. Serangga ini banyak terdapat di daerah lembab seperti batang pisang atau dibawah kulit tanaman yang telah mati. Spesies darmaptera banyak berfungsi sebagai predator mereka menggunakan capit untuk menangkap lalu memakannya. Serangga yang termasuk ordo ini adalah cocopet atau tempiris.

10.     Ordo Thysanoptera
Kata thysanoptera berasal dari bahasa yunani, yaitu thysano (rumbai-rumbai) dan ptera (sayap). Artinya, serangga ini memiliki sayap yang tepinya berumbai-rumbai. Serangga yang termasuk dalam ordo ini disebut thrips. Panjang thrips sekitar 1-2 mm, badannya berwarna hitam, kadang ada titik merah atau garis merah, datar dan langsing. Sementara itu warna thrips yang masih muda ada yang pucat keputihan, kekuningan atau jernih, serta kulit mengkilap jingga atau merah. Bagian mulut thrips digunakan untuk menusuk dan mengisap. Thrips mengisap cairan dari permukaan daun sehingga akan terjadi bercak yang berwarna putih, seperti perak. Meskipun umumnya merugikan tetapi ada juga thrips yang tidak merugikan tetapi ada juga jenis thrips yang memakan madu dari bunga-bungaan atau terdapat pada cendawan dan ganggang pada kulit pohon. Dan ada juga yang menjadi predator tungau dan kutu-kutu kecil seperti thrips aleurodothrips yang menyerang kutu-kutu perisai.

11.     Ordo Dipteral
Kata diptera berasal dari kata yunani yaitu di (dua) dan ptera (sayap). Karena serangga yang termasuk dalam ordo ini mempunyai sepasang sayap, sebenarnya serangga ini ada yang mempunyai dua pasang sayap yaitu lalat tapi tereduksi menjadi halter yang berfungsi sebagai alat keseimbangan. Larva pada ordo ini disebut belatung (maggot) serta jentik. Belatung berbentuk ulat pendek yang tidak memiliki kaki, kepalanya kecil dan semakin kebelakang akan semakin membesar. Serangga yang masuk dalam ordo ini lalat buah(drosophilidae), lalat buas (asilidae), nyamuk (culicidae) dan lain-lain.

12.     Ordo Neuroptera
Neuroptera berasal dari kata neuro (urat) dan ptera (sayap). Serangga ini memiliki tubuh yang sangat kecil sampai besar. Antenna umumnya panjang dan mulut pada larva menghisap dan pada imago menggigit. Sayap dua pasang, seperti selaput, sayap depan dan sayap belakang hampir sama dalam bentuk dan susunan venanya. Pada saat istirahat sayap diletakkan diatas tubuh. Larva serangga ini mempunyai rahang yang berkembang baik dan digunakan untuk menangkap mangsa. Serangga dari ordo ini adalah lalat ular (Rhapidia adnixa), lalat dorson (Corydalus cornutus), undur-undur (Dendroleum obsotelum) dan mantispid (Mantispa cincticornis).



BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM

A.      Waktu dan Tempat
Kegiatan praktek lapang ini dilaksanakan pada tanggal 28 November 2015 hingga 29 November 2015 di Hutan Pendidikan Bengo-Bengo, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.
B.       Alat dan Bahan
a)      Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktek lapang  ini adalah sebagai berikut :
1.      Sweep net
2.      Malaise Trap
3.      Lampu putih atau senter
4.      Kain putih
5.      Botol penampungan serangga
6.      Kamera

b)     Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktek lapang ini adalah sebagai berikut :
1.      Alkohol 70 – 90 %
2.      Jarum pentul atau jarum serangga
3.      Gabus
4.      Kertas grafik
5.      Karton manila 40
6.      Lem korea

C.      Metode Praktek Lapang
1.      Penangkapan Serangga Malam
Adapun metode praktek lapang pada penangkapan serangga malam ini adalah sebagai berikut :
a.       Malaise trap disiapkan dan dipasang pada tempat yang jauh dari cahaya.
b.      Lampu atau senter dipasang pada malaise trap untuk menarik perhatian serangga malam.
c.       Serangga yang terperangkap atau hinggap di malaise trap dimasukkan ke dalam botol penampungan serangga.
d.      Pengamatan dilakukan hingga pukul 23.00 Wita.
e.       Serangga yang telah diperoleh direndam dalam wadah yang berisi alkohol. Untuk serangga ordo lepidoptera, hanya dilakukan penyuntikan pada bagian abdomen dari serangga tersebut.

2.      Penangkapan Serangga Siang
Adapun metode praktek lapang pada penangkapan serangga siang ini adalah sebagai berikut :
a.       Serangga yang aktif pada siang hari ditangkap dengan menggunakan sweep net.
b.      Serangga yang terperangkap didalam sweep net dimasukkan ke dalam botol penampungan serangga.
c.       Kegiatan ini dilakukan hingga pukul 11.00 Wita.
d.      Serangga yang telah diperoleh direndam dalam wadah yang berisi alkohol. Untuk serangga ordo lepidoptera, hanya dilakukan penyuntikan pada bagian abdomen dari serangga tersebut.






DAFTAR PUSTAKA

Deliadeliog. blogspot.com/../ makalah-hama- dan-penyakit-pada-tanaman./ Diakses pada tanggal 14 Desember 2014 pukul 09.00 Wita.

Galante, E., and Gracia, A.M., 2001. Decomposer Insect. South African Journal of Sciences 75:257-260.

Https://cabeping.wordpress.com/2013/05/07/ordo-ordo-serangga/ Diakses pada tanggal 14 Desember 2014 pukul 09.00 Wita.

Koesharto, F.X., 1995. Mass Rearing of Arthropod Parasitoid (Hymenoptera:Pteromaldae) of Poultry and Cattle Farm’s Filth Flies. Dec.1995 hlm.65-67 ISSN 0854-8587 vol.2,No.2.

Marheni, 2003. Kemampuan Beberapa Predator pada Pengendalian Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Jurnal Natur Indonesia 6(2): 84-86 (2004) ISSN 1410-9379.

Rhee7.wordpress.com/../hama dan penyakit pada tumbuhan// Diakses pada tanggal 14 Desember 2014 pukul 09.30 Wita.

Santoso, M. B., 2007. Predator Musuh Alami yang Berguna. Satta,A., Acciaro,M., Floris,I., Lentini,A., and Sulas, L., 1998. Insect Pollination of Sulla(H edysarum coronarium L.) and Its Effect on Seed Production in a Mediterranean Environment. CIHEAM – Options Mediterraneennes pgs 373-377.

Shahabuddin, 2003. Pemanfaatan Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan. Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Oktober 2003.

Shahabuddin, Hidayat,P., Noerdjito,W.A., and Manuwoto, S., 2005. Research on Insect Biodiversity in Indonesia: Dung Beetles (Coleoptera:Scarabaeidae) And Its Role in Ecosystem. ISSN: 1412-033X Volume 6, Nomor 2 April 2005 HLM: 141-146.

Stireman,J.O., Nason, J.D., Heard, S.B., and Seehawer, J.M., 2006. Cascading Host-Associated Genetic Differentiation in Parasitoids of Phytophagous Insects. Proc. R. Soc. B (2006) 273, 523–530 doi:10.1098/rspb.2005.3363.

Wardhani, T.S., 2007. Perbandingan Populasi Larva Odonata di Beberapa Sungai di Pulau Pinang dan Hubungannya dengan Pengaruh Habitat dan Kualiti Air. Universiti Sains Malaysia ogos 2007.

Williams, I.H., 2002. Insect Pollination and Crop Production: A European Perspective. IN: Kevan P & Imperatriz Fonseca VL (eds) – Pollinating Bees – The Conservation Link Between Agriculture and Nature – Ministry of Environment / Brasília.p.59-65

Label:

Post a Comment

Post a Comment

Powered by Blogger.