BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konversi
hutan alam tidak selalu berdampak buruk, tidak sedikit kisah sukses konversi
hutan menjadi tata guna lahan yang lebih produktif dan lestari. Konversi hutan
alam menjadi lahan sawah, perkebunan teh, karet dan berbagai bentuk konversi
lainnya, termasuk perkebunan kelapa sawit di Jawa, Sumatera dan Kalimantan
telah membuktikan bahwa konversi hutan alam tidak selalu menunjukkan wajah yang
kurang ramah lingkungan. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak kasus
kerusakan lingkungan yang begitu dahsyat sebagai dampak konversi hutan alam.
Kegagalan konversi 1 juta ha hutan alam gambut menjadi lahan sawah di Propinsi
Kalimantan Tengah menjadi pelajaran penting bagaimana konversi hutan alam tidak
dapat dilakukan secara gegabah (Purwanto, 2006).
Pembangunan
perkebunan khususnya kelapa sawit idealnya direncanakan pelaksanaan di kawasan
baru, yang relatif masih belum diusahakan oleh manusia secara teratur. Dengan
kata lain, kawasan tersebut masih merupakan kawasan yang belum berkembang dan
jauh dari pusat keramaian. Dengan demikian, harapan selanjutnya adalah usaha
perkebunan tersebut akan dapat mengembangkan ekonomi wilayah dengan cara
menimbulkan usaha-usaha baru yang terkait dengan semakin meningkatnya kesejahteraan
masyarakat perkebunan. Pengembangan ekonomi wilayah juga diharapkan dapat
tercapai karena perkebunan kelapa sawit banyak dikembangkan di wilayah marginal
yang selama ini kurang produktif (Wahyono, 2004).
Kelapa
sawit membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan
dan produksi. Tanaman ini umumnya dikembangkan pada daerah yang memiliki curah
hujan tinggi yaitu lebih dari 2.000 mm/tahun atau paling sedikit 150 mm/bulan
berkisar 1.700 - 3.000 mm/tahun yaitu sebesar 5 -6 mm/hari tergantung pada umur
tanaman dan cuaca, serta tanpa periode kering yang nyata dimana bulan keringnya
kurang dari satu bulan per tahun. Beberapa penelitian kelembaban tanah
berpengaruh sangat nyata terhadap produksi kelapa sawit. Oleh sebab itu
pengelolaan air diperkebunan kelapa sawit di wilayah dengan periode kering yang
mencolok sangat penting untuk mendapatkan perhatian (Murtilaksono et al.,
2007).
Pembangunan
penampung air dalam bentuk kolam dan penampung air alami bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan air di pembibitan kelapa sawit dan memperbaiki ketersediaan air di
lapangan. Upaya untuk meningkatkan cadangan air tanah adalah dengan pembuatan
rorak yang bertujuan untuk meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah.
Pembangunan ini juga dapat mengurangi erosi permukaan dan mengurangi kehilangan
pupuk akibat erosi permukaan (Darmosarkoro et al., 2001).
Pengendalian
aliran permukaan dan erosi juga dapat dilakukan dengan peresapan air hujan yang
jatuh ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi proporsi air yang mengalir di
permukaan tanah. Peresapan air ke dalam tanah tersebut disamping dapat
mengurangi aliran permukaan dan erosi, juga dapat meningkatkan cadangan air
tanah dan air bawah tanah. Air yang tersimpan sebagai air tanah dan air bawah
tanah tertahan lebih lama pada areal tersebut, sehingga diharapkan dapat
menjadi cadangan air bagi tanaman kelapa sawit pada saat tidak terjadi hujan
atau pada musim kemarau yang pada gilirannya mampu meningkatkan produksi
tanaman kelapa sawit (Murtilaksono et al., 2007).
Infiltrasi
adalah gerakan air melalui permukaan tanah dan masuk ke dalam tanah. Kelas umur
kelapa sawit yang berbeda-beda memiliki penurunan air tanah yang berbeda-beda
pula. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang kajian infiltrasi pada
beberapa kelas umur kelapa sawit.
B.
Identifikasi
Masalah
Beberapa
permasalahan yang terkait dengan pengaruh faktor infiltrasi pada berbagai kelas
umur tegakan kelapa sawit (Elaeis
guineensis), yaitu: (1). kondisi fisik ekosistem hutan/kebun kelapa sawit;
(2). Fungsi dan manfaat ekosistem hutan tegakan kelapa sawit; (3). Kondisi
fisik kerusakan ekosistem hutan tegakan kelapa sawit; (4). Pengaruh yang
signifikan aktivitas infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit
terhadap ekosistem hutan; dan (5). Upaya pelestarian ekosistem hutan tegakan
kelapa sawit.
C.
Batasan
Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada faktor
infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit, pengaruh yang signifikan
aktivitas infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit, dan upaya
pelestarian hutan tegakan kelapa sawit.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
besarnya infiltrasi tanah pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit (Elaeis guineensis) ?
2. Bagaimana
kondisi infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit ?
3. Bagaimana
pengaruh yang signifikan aktivitas faktor infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan
kelapa sawit ?
E.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui besarnya infiltrasi tanah pada berbagai kelas umur tegakan kelapa
sawit (Elaeis guineensis).
2. Untuk
mengetahui kondisi infiltrasi pada berbagai kelas umur tegakan kelapa sawit.
3. Untuk
mengetahui pengaruh yang signifikan aktivitas faktor infiltrasi pada berbagai
kelas umur tegakan kelapa sawit.
F.
Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Sebagai
sumber informasi mengenai besarnya laju infiltrasi tanah pada berbagai kelas
umur tegakan kelapa sawit (Elaeis
guineensis).
2. Untuk
menambah wawasan bagi penulis dalam menulis karya ilmiah berbentuk skripsi.
3. Sebagai
bahan pembanding bagi penulis lain untuk meneliti masalah yang sama pada waktu
dan daerah yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi
dan Sistematika Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) Berdasarkan
bukti-bukti yang ada, kelapa sawit diperkirakan berasal dari Nigeria, Afrika
Barat. Namun ada pula yang menyatakan bahwa tanaman tersebut berasal dari
Amerika, yakni dari Brazilia. Tanaman kelapa sawit berasal dari daratan
tersier, yang merupakan daratan penghubung yang terletak diantara Afrika dan
Amerika. Kedua daratan ini kemudian terpisah oleh lautan menjadi benua Afrika
dan Amerika sehingga tempat asal komoditas kelapa sawit ini tidak lagi dipermasalahkan
orang (Risza, 1994).
Kelapa
sawit termasuk tanaman monokotil. Batangnya tumbuh lurus, dan umumnya tidak
bercabang, dan tidak mempunyai kambium. Tanaman ini berumah satu atau
monoecious. Bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon. Kelapa
sawit diperbanyak secara generatif dengan biji yang dikecambahkan. Cara lain
yang digunakan adalah secara vegetatif dengan mengambil vegetatif tanaman (batang,
daun/akar yang masih muda) yang ditumbuhkan dalam media buatan. Taksonomi
kelapa sawit yang diterima sekarang ini adalah :
Ordo
: Palmales
Famili
: Palmaceae
Sub
famili : Palminae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis
(Mangoensoekarja
dan Semangun, 2003).
A.
Syarat
Tumbuh Kelapa Sawit (Elaeis quineensis)
Menurut
Risza (1994) pengaruh faktor lingkungan antara lain iklim, tanah dan topografi
merupakan sumber daya alam yang sulit untuk dilawan, namun setidaknya dapat
dieliminasi dengan melakukan beberapa pendekatan agar faktor-faktor yang
menghambat dapat dicegah atau ditekan sedemikian rupa sehingga berubah menjadi
faktor pendukung.
1.
Iklim
Kelapa
sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah antara
12o Lintang Utara 12o Lintang Selatan. Curah hujan optimal
yang dikehendaki antara 2.000 - 2.500 mm per tahun dengan pembagian yang merata
sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5 – 7 jam per hari, dan suhu yang optimum
berkisar 24o - 38o C.
2.
Tanah
dan Topografi
Kelapa
sawit dapat tumbuh diberbagai jenis tanah antara lain : Tanah Podsolik Coklat,
Podsolik Kuning, Podsolik Coklat Kekuningan, Podsolik Merah Kuning, Hidromorfik
Kelabu, Alluvial, Regosol, Gley Humik, dan Organosol. Sifat fisik dan sifat
kimia setiap jenis tanah berbeda-beda, sehingga tingkat produksi setiap jenis
tanah juga berbeda. Bagi tanaman kelapa sawit sifat fisik tanah lebih penting
dari pada sifat kesuburan kimiawinya, karena kekurangan suatu unsur hara dapat
diatasi dengan pemupukan. Untuk tanaman kelapa sawit ketinggian di atas
permukaan laut yang optimum berkisar 0–500 meter. Kemiringan tanah yang
dianggap masih baik bagi tanaman kelapa sawit adalah antara 0 - 15o,
sedangkan di atas kemiringan 15o harus dibuat teras kontur.
B.
Daur
Hidrologi
Daur
hidrologi adalah suatu pola perdauran yang umum yang terdiri dari susunan
gerakan-gerakan air yang rumit dan juga transformasinya. Secara sederhana dapat
dikatakan sebagai air yang mengalir dari atmosfer ke daratan, ke laut sampai
pada atmosfer kembali (Lee, 1990).
Sebagian
air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran permukaan (surface runoff). Aliran permukaan
sebagian akan meresap ke dalam tanah menjadi aliran bawah permukaan melalui
proses infiltrasi (infiltration) dan perkolasi
(perkolation), selebihnya akan
terkumpul di dalam jaringan alur sungai sebagai aliran sungai (river flow). Apabila kondisi tanah
memungkinkan sebagian air infiltrasi akan mengalir kembali ke dalam sungai (river), atau genangan lainnya seperti
waduk, danau sebagai interflow. Sebagian dari air dalam tanah dapat muncul
kembali ke permukaan tanah sebagai air eksfiltrasi (subsurfaceflow) dan dapat terkumpul kembali dalam alur sungai atau
langsung menuju ke laut (Soewarno, 2000).
Menurut
Asdak (1995) sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan
oleh tajuk vegetasi. Sebagian air hujan itu akan tersimpan di permukaan
tajuk/daun, sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui
sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang
pohon (stemflow). Sebagian kecil air
hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah melainkan terevaporasi
kembali ke atmosfer (dari tajuk) selama dan setelah berlangsungnya hujan (interception).
C.
Infiltrasi
Infiltrasi
dapat diartikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah sebagai akibat gaya
kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah
vertikal). Setelah keadaan jenuh pada lapisan tanah bagian atas terlampaui,
sebagian dari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat
gaya gravitasi bumi dan dikenal dengan proses perkolasi. Laju maksimal gerakan
air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi
terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap
kelembaban tanah. Sebaliknya, apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada
kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Asdak,
1995).
Menurut
Soemarto (1995) infiltrasi adalah perpindahan air dari atas ke dalam permukaan
tanah. Air yang muncul kembali dari dalam tanah ke permukaan tanah disebut
rembesan. Daya infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum yang dimungkinkan,
yang ditentukan oleh kondisi permukaan termasuk lapisan tanah. Besarnya daya
infiltrasi dinyatakan dalam cm/jam atau mm/hari.
1.
Proses
Infiltrasi
Dari
segi hidrologi infiltrasi adalah penting, karena hal tersebut menandai peralihan
dari permukaan bumi yang bergerak cepat ke dalam air dalam tanah yang bergerak
lambat dan air tanah. Kapasitas infiltrasi suatu tanah dipengaruhi oleh
sifat-sifat fisiknya dan derajat kemampuannya, kandungan air dan permeabilitas
lapisan-lapisan bawah permukaan, kemudian nisbi air yang bersifat berinfiltrasi, dan iklim mikro tanah;
kondisi-kondisi optimum biasanya berlaku pada tanah bertahun yang utuh.
Kapasitas infiltrasi adalah suatu sifat yang dinamis yang dapat berubah secara
nyata selama kejadian hujan badai tertentu, sebagai reaksi terhadap
perubahan-perubahan musiman dalam air tanah, suhu, dan penutupan vegetasi,
maupun sebagai akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan (Lee, 1990).
Menurut
Asdak (1995) proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak
tergantung satu sama lain, yaitu :
a) Proses
masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah
b) Tertampungnya
air hujan tersebut di dalam tanah
c) Proses
mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas).
2.
Kapasitas
Infiltrasi
Kapasitas
infiltrasi adalah kemampuan tanah dalam merembeskan (menginfiltrasikan) air
yang terdapat di permukaan atau aliran air permukaan ke bagian dalam tanah
tersebut, yang dengan sendirinya dengan adanya perembesan itu aliran air
permukaan akan sangat berpengaruh. Jelasnya, makin besar aliran kapasitas
infiltrasi maka aliran air di permukaan tanah makin berkurang (sedikit). Sebaliknya,
makin kecil kapasitas infiltrasi yang disebabkan banyaknya pori tanah yang
tersumbat, maka aliran air permukaan bertambah atau meningkat (Kartasapoetra,
1989).
Lee
(1990) mengatakan bahwa kapasitas infiltrasi merupakan suatu sifat yang
dinamis, kapasitas tersebut adalah terbesar bila curah hujan mulai, dan menurun
secara progresif bila koloid-koloid tanah mengembang dan mengurangi ukuran
pori-pori, bahan-bahan halus dari permukaan tercuci ke dalam pori-pori dan
menghambat gerakan air, tanah mendekati jenuh, dan gradien hidrolik berkurang.
Curah
hujan dan kandungan air mempengaruhi kapasitas infiltrasi dengan berbagai cara.
Pukulan tetesan hujan cenderung merusak struktur permukaan tanah, dan
bahan-bahan yang halus dari permukaan dapat tercuci ke dalam rongga-rongga
tanah, menyumbat pori-pori, selama periode-periode curah hujan yang tinggi,
ruang pori tanah terisi oleh air, dan infiltrasi tidak dapat melebihi laju aliran
bawah permukaan pada lapisan yang paling kurang permeabel. Pada tingkat-tingkat
kandungan air tanah yang sangat tinggi infiltrasi juga dapat dihambat karena
sulit bagi udara tanah untuk keluar untuk menciptakan ruangan bagi air
tambahan, bila tanah-tanah sangat kering tanah-tanah tersebut dapat menjadi
hidrofob (menolak air) yang akan mengurangi kapasitas infiltrasi (Lee, 1990).
3.
Faktor-Faktor
yang Menentukan Infiltrasi
a) Vegetasi
Vegetasi yang menutupi tanah atau pohon-pohon di hutan
yang melindungi tanah permukaannya mempunyai peranan besar untuk menghambat dan
mencegah berlangsungnya erosi. Vegetasi atau pohon-pohon tersebut selain akan
melindungi tanah permukaan dari pukulan langsung butir-butir air hujan dapat
pula memperbaiki struktur tanah melalui penyebaran akar-akar (Kartasapoetra,
1989).
Sistem perakaran yang terjadi karena tumbuh-tumbuhan
yang ada diatasnya menyebabkan retak-retak di dalam tanah. Hal ini sangat
menguntungkan saat terjadi laju infiltrasi besar. Ketersediaan lapisan sampah
hutan dapat memperbesar laju infiltrasi sampai 4 kali laju infiltrasi tanpa
adanya lapisan sampah.
b) Tekstur
Tanah
Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun
tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi
pasir (sand) (berdiameter 2,00 – 0,20 mm atau 2000 – 200 μm), debu (silt)
(berdiameter 0,20 - 0,02 mm atau 200 – 2 μm) dan liat (clay) diameternya < 2
μm (Hanafiah, 2004).
Tekstur tanah sebenarnya merupakan perbandingan
relatif dari berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah,
terutama perbandingan antara fraksi-fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah
turut menentukan tata air dalam tanah dan besar kecilnya aliran permukaan yang
ditentukan oleh kecepatan infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk merembeskan
air. Walaupun curah hujan demikian lebat, aliran air permukaannya akan berlaju
kecil kalau kapasitas infiltrasi besar. Artinya air di permukaan banyak
melakukan rembesan ke dalam tanah, seperti pada tanah-tanah berpasir, lempung
berpasir yang mempunyai kedalaman lapisan kedap yang dalam atau dengan kata
lain pada tanah bertekstur kasar. Pada tanah bertekstur halus, keadaannya
adalah sebaliknya, walaupun curah hujan tidak seberapa lebat, aliran air
permukaan akan melaju cepat dikarenakan infiltrasi air ke lapisan-lapisan tanah
berlangsung sangat lambat (Kartasapoetra, 1989).
Hardjowigeno (1987) mengatakan bahwa tanah dengan
tekstur kasar seperti pasir adalah tahan terhadap erosi karena butir-butir yang
besar (kasar) tersebut memerlukan lebih banyak tenaga untuk mengangkut.
Demikian pula tanah-tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap
erosi karena daya kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga
gumpalan-gumpalannya sukar dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap
erosi adalah debu dan pasir yang sangat halus. Oleh karena itu, makin tinggi
kandungan debu dalam tanah, maka tanah menjadi peka terhadap erosi.
Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi yang
berbeda, dari yang sangat tinggi sampai sangat rendah. Jenis tanah berpasir
umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi tinggi, akan tetapi tanah liat
sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi rendah. Untuk satu jenis tanah
yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda
pula. Makin padat tanah makin kecil laju infiltrasinya. Kelembaban tanah yang
selalu berubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin
tinggi kadar air di dalam tanah, laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa jika ada satu jenis tanah terjadi
infiltrasi, infiltrasinya makin lama makin kecil (Harto, 1993).
c) Bahan
Organik
Tanah tersusun oleh bahan padatan, air dan udara.
Bahan padatan ini meliputi bahan mineral berukuran pasir, debu dan liat, serta
bahan organik. Bahan organik tanah biasanya menyususn sekitar 5% bobot total
tanah, meskipun hanya sedikit tetapi memegang peranan penting dalam menentukan
kesuburan tanah, baik secara fisik, kimiawi maupun secara biologis tanah.
Sebagai komponen tanah yang berfungsi sebagai media tumbuh, maka bahan organik
juga berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman
dan mikroba tanah (Hanafiah, 2004).
Kartasapoetra (1989) mengatakan bahwa bahan organik
yang terbentuk di atas permukaan tanah yang bersifat poreus akan menyerap air
dan selanjutnya air akan mengalir. Air yang terserap bahan organik selanjutnya
dengan kecepatan yang relatif lambat akan meresap terus ke lapisan bagian dalam
tanah sampai pada akhirnya akan terbentuk konsentrasi air di dalam tanah. Dari
sini air akan dialirkan pula secara lambat menuju ke kaki/gunung atau tempat
yang lebih rendah dari dataran hutan, dalam bentuk mata air. Dengan demikian,
manusia atau mahluk hidup lainnya tidak akan kekurangan air.
d) Kadar
Air
Air yang tersedia dalam tanah dapat diserap tanaman
bagi kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada satu jenis tanah dengan
jenis tanah lainnya tersedianya air adalah berbeda-beda, tanah yang berlempung
misalnya ketersediaan air lebih banyak dibandingkan dengan tanah pasir. Gerakan
air di dalam tubuh tanah selain mempengaruhi keberadaan air di suatu tempat,
juga serta kaitannya dengan jumlah air yang ada dan sifat tanah (aliran jenuh,
aliran tidak jenuh dan aliran uap) (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1988).
Lee (1990) mengatakan bahwa sebenarnya semua air
adalah presipitasi yang telah berinfiltrasi ke dalam tanah, air tanah tersebut
dapat disimpan baik dalam ruang-ruang antar butir pada batuan yang padat, pada
ruang-ruang yang lebih besar diantara pasir dan kerikil yang tidak
terkonsolidasi, maupun pada ruang-ruang yang besar pada pecahan batuan dan
saluran-saluran pelarutan. Curah hujan dan kandungan air tanah mempengaruhi
infiltrasi dengan berbagai cara. Pukulan tetesan cenderung merusak struktur
permukaan tanah, dan bahan-bahan yang lebih halus dari permukaan dapat tercuci
ke dalam rongga tanah, menyumbat pori-pori selama periode curah hujan yang
tinggi tingkattingkat air tanah adalah lebih tinggi, ruang pori tanah terisi
oleh air, dan infiltrasi tidak dapat melebihi laju aliran bawah permukaan pada
lapisan yang kurang permeabel. Pada tingkat-tingkat kandungan air tanah yang
sangat tinggi infiltrasi juga dapat dihambat karena sulit bagi udara untuk keluar
untuk menciptakan ruang bagi air tambahan, bila tanah-tanah sangat kering,
tanah-tanah tersebut dapat menjadi hidrofob (menolak air) yang akan mengurangi
kapasitas infiltrasi (Lee, 1990).
4.
Pengukuran
Infiltrasi
Menurut
Asdak (1995) dalam pengukuran infiltrasi, dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu :
a) Menentukan
beda volume air hujan buatan dengan volume air larikan pada percobaan
laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan
b) Menggunakan
alat infiltrometer
c) Teknik
pemisahan hidrograf aliran dari data aliran hujan
Harto (1993), mengelompokkan cara
pengukuran laju infiltrasi tersebut kedalam
dua kelompok yaitu: dengan pengukuran di lapangan dan dengan analisis hidrograf. Alat-alat yang digunakan
dalam pengukuran laju infiltrasi tersebut
adalah :
a) Single ring infiltrometer
b) Double ring infiltrometer
c) Rainfall simulator
Single
ring infiltrometer merupakan silinder baja atau bahan lain
yang memiliki diameter 25-30 cm. Tinggi alat kurang lebih 50 cm. Double ring infiltrometer pada dasarnya
sama dengan single ring infiltrometer
namun diameternya lebih besar dari diameter single
ring infiltrometer. Rainfall
simulator pada dasarnya terdiri dari seperangkat alat pembuat hujan buatan,
yang terdiri dari pompa air dan deretan pipa-pipa dengan nozzle yang dapat menyemprotkan air (Harto, 1993).
Alat infiltrometer
yang biasa digunakan adalah infilrometer
ganda (double ring infiltrometer),
yaitu satu infiltrometer silinder
ditempatkan di dalam infiltrometer
silinder yang lebih besar diameternya. Pengukuran infiltrasi hanya dilakukan
terhadap silinder yang kecil. Silinder yang lebih besar berfungsi sebagai
penyangga yang bersifat menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder
(Asdak, 1995).
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tempat
dan Waktu
Penelitian
dilakukan di Hutan pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar daerah
bengo-bengo, Maros. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2015.
B.
Alat
dan Bahan
Alat
yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari : Double ring infiltrometer,
Meteran, Palu/pemukul, Penggaris, Stop watch, Tally sheet, Cangkul, Kantong
plastik, Ayakan, Timbangan, Oven, Cawan, Shaker, Erlenmeyer, Pipet tetes dan
Hidrometer .
Bahan
yang digunakan untuk penelitian ini yaitu tanah pada berbagai kelas umur
tegakan kelapa sawit (E. guineensis)
dan air yang digunakan untuk mengukur laju infiltrasi dan sejumlah bahan kimia
yang digunakan untuk analisis tanah.
C.
Rancangan
Percobaan
Rancangan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) (Sugiarto, 1994) dengan faktor perlakuan jarak ukur dari batang kelapa
sawit yaitu, jarak ukur 1 m, 2 m, 3m, 4m dan 5 m. Sedangkan kelompoknya ialah
kelas umur tegakan kelapa sawit yaitu : kelas umur 10 tahun, kelas umur 25 tahun,
dan kelas umur 35 tahun.
Model
matematika yang diasumsikan untuk rancangan ini adalah :
Yij
= μ + τi + βj + εij
Keterangan
:
Yij
: Pengaruh kelas umur terhadap
infiltrasi
μ
: Rata-rata setiap parameter yang
diukur
Ï„i : Pengaruh perlakuan jarak ukur ke-i
βj
: Pengaruh kelompok kelas umur
ke-i
εij
: Pengaruh galat percobaan dari perlakuan
ke-i dan ulangan ke-j
Apabila
hasil sidik ragam menunjukkan bahwa F Tabel lebih besar dari F Hitung maka uji
lanjutan dilakukan dengan menggunakan Uji Jarak Duncan.
D.
Prosedur
Penelitian
1. Penentuan
Lokasi Pengamatan
Lokasi penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan
kelas umur dan jarak ukur dari batang kelapa sawit.
2. Pemasangan
Alat dan Pengkuran Laju Infiltrasi pada Masing-Masing Kelas Umur
Laju infiltrasi diukur dengan menggunakan double ring
infiltrometer yang di tempatkan pada tanah yang telah dibersihkan. Ring dipukul
dengan menggunakan pemukul namun ketika memukul perlu diperhatikan permukaan ring
sehingga ring tidak miring. Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan mengisi
kedua ring dengan air kurang lebih 20 cm. Laju infiltrasi yang dihitung adalah
pada ring bagian dalam. Waktu yang diperlukan oleh muka air untuk turun dicatat
dengan stop watch. Tinggi muka air dihitung mulai dari menit pertama sampai
pada menit penurunan air konstan. Air dituangkan kembali secepatnya apabila
tingkat air telah mencapai 10 cm, dan dicatat tinggi air sebelum dan sesudah
diisi pada setiap kejadian. Hal tersebut dilakukan untuk setiap kelas umur tegakan
kelapa sawit.
3. Pengambilan
Contoh Tanah
Contoh tanah diambil setelah pengukuran infiltrasi
selesai dilakukan dari dalam ring infiltrometer. Tanah diambil dengan kedalaman
0 – 20 cm dari setiap kelas umur yang diukur.
E.
Pengolahan
Data
Berdasarkan
hasil pengukuran di lapangan, laju infiltrasi dapat dihitung berdasarkan rumus
:
f
= ΔH/t x 60 (cm/jam)
Keterangan
:
f
: Laju infiltrasi (cm/jam)
ΔH
: Tinggi penurunan air dalam selang
waktu tertentu (cm)
t : Selang waktu yang dibutuhkan oleh air pada ΔH untuk masuk
ke tanah (menit)
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Infiltrasi
rata-rata maksimum tegakan kelapa sawit untuk kelas umur 10 tahun, 25 tahun dan
35 tahun adalah 19.2 cm/jam, 79.2 cm/jam dan 111.6 cm/jam dengan kapasitas
infiltrasi berturut-turut yaitu 5, 28 cm/jam, 11,76 cm/jam dan 16,8 cm/jam dan
waktu konstan yang dibutuhkan secara berturut-turut, yaitu pada menit ke 30,
menit ke 55 dan menit ke 60.
2. Umur
tegakan kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap laju infiltrasi dengan
kecenderungan semakin tinggi kelas umur, infiltrasinya semakin besar.
B.
Saran
Pengukuran
BD (Bulk Density) untuk masing-masing kelas umur perlu dilakukan agar pengaruh
BD terhadap laju infiltrasi dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
N. 1990. Metode Analisis Tanaman, Tanah dan Mineral. Pusat Penelitian
Perkebunan. Medan.
Asdak
C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Darmosarkano
W, Harahap IY, dan Syamsuddin E. 2001. Pengaruh Kekeringan pada Tanaman Kelapa
Sawit dan Upaya Penanggulangannya. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 9
No. 3 Oktober 2001. Medan.
Hanafiah
KA. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Harahap
EM. 2007. Peranan Kelapa Sawit pada Konservasi Tanah dan Air.
www.usu.ac.id/files/pidato/ppgb/2007_erwin_masrul_harahap_pdf. [17 Mei 2015].
Hardjowigeno
S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Harto
S. 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Juanda
DJS, Assa’ad dan Warsana. 2001. Kajian Laju Infiltrasi dan Beberapa Sifat Fisik
Tanah pada Tiga Jenis Tanamanan Pagar dalam Sistem Budidaya Lorong. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan Vol 4 (1) (2003) pp25-31.http:/soil.faperta.ugm.ac.id/jilt/4.1%202003%202531%20juanda%fisik.pdf.
[17 Mei 2015].
Kabupaten
Deli Serdang. 2008. www.deliserdang.go.id. [17 Mei 2015].
Kartasapoetra
AG. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Merehabilitasinya. Bina Aksara
Jakarta.
Kartasapoetra
AG dan Sutedjo MM. 1988. Pengantar Ilmu Tanah Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian.
Rineka Cipta. Jakarta.
Lee
R. 1990. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mangoensoekarjo
dan Semangun, 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa sawit. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Murtilaksono
K, Siregar HH dan Darmosarkono W. 2007. Model Neraca Air Di Perkebunan Kelap
Sawit (Water Balance Model In Oil Palm Plantation) Jurnal Penelitian Kelapa
Sawit Vol. 15 No. 1 April 2007. Medan.
Purwanto
E. 2006. Mencermati konversi Hutan Alam menjadi Kebun Kelapa Sawit.
www.lambusango.com. [17 Mei 2015].
Risza
S. 1994. Kelapa Sawit Upaya Peningkatanan Produktivitas. Kanisius. Yogyakarta.
Soemarto
CD. 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta.
Soewarno.
2000. Hidrologi Operasional. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sugiarto
ES. 1994. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Andi Offset. Yogyakarta.
Suriadi
A dan Nazam M. 2005. Penilaian Kualitas Tanah Berdasarkan Kandungan Bahan
Organik (Kasus Di Kabupaten Bima). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa
Tenggara Barat. www.ntb.litbang.deptan.go.id/2005/sp/ penilaian.doc. [17 Mei 2015].
Wahyono
T. 2004. Peranan Perkebunan Kelapa sawit dalam Pengembangan Regional dari Segi
Eknomi Makro (Studi Kasus Sumatera Utara). Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit
Vol. 12 No. 1 Februari 2004. Medan.
Widianto
D, Suprayoga, Noveras H, Widodo RH, Purnomosidhi P dan Noordwijk MP. Alih Guna
Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan dapat Digantikan
Sisten Kopi Monokultur ?. http:/www.icraf.cgiar.org/SEA/Publications/files/journal/JA0020-4.PDF.
[17 Mei 2015].
Post a Comment
Post a Comment