Pembahasan Lengkap Mengenai Konsep Sumberdaya Hutan





3 Konsep Sumberdaya Hutan
Dalam perekonomian, hutan dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat menyediakan barang dan jasa untuk keperluan masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan hutan di suatu wilayah telah menjadikan hutan sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan ekonomi. Pengelolaan hutan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, serta mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.
Barang yang dapat disediakan oleh hutan antara lain kayu, getah, rotan, daun, makanan ternak dan lain-lain. Sedangkan jasa dari hutan antara lain berupa komoditi air/tata air, tempat rekreasi, plasma nutfah, pendidikan dan sebagainya. Lebih lanjut menurut World Bank (1978), barang dan jasa dari hutan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis yaitu barang dan jasa untuk konsumsi, bahan industry, dan yang berpengaruh terhadap ekologi. Barang dan jasa untuk konsumsi bersifat indigenous meliputi kayu untuk bangunan tempat tinggal (building poles), kayu bakar  dan arang kayu (fuelwood and charcoal), bahan-bahan anyaman (weaning materials), dan kayu-kayu special (special woods and ashes). Barang untuk kegunaan sumber bahan industry meliputi bahan ekstraktif (gums, resins and oils), kayu bulat (logs) untuk pengergajian, kayu bahan pulp dan kertas (pulp woods), plywood atau kayu lapis, dan kayu limbah (waste) untuk particle board, fibre board dan wastepaper. Sedangkan barang dan jasa yang berpengaruh terrhadap ekologi meliputi perlindungan terhadap daerah aliran sungai ataua perlindungan terhadap daya tangkapan (cathment protection), ekologi dan konservasi satwa liar (ecology and wildlife conservation) dan pengendalian erosi tanah (soil erosion control).
Pada awalnya , sumberdaya hutan dapat diperoleh di alam bebas dengan mudah karena adanya sifat open acces pada hak penguasaan (property rights) hutan oleh masyarakat di hutan. Namun karena luasnya manfaat dari hutan maka lambat laun sumberdaya hutan tersebut semakin berkurang karena terus menerus dieksploitasi, sehingga mengalami kerusakaan sumberdaya alam. Untuk memperkecil  tingkat kerusakan tersebut, maka sumberdaya hutan tersebut dikelola oleh pemerintah atau diserahkan pengelolaannya kepada pihak badan hukum swasta, koperasi dan bahkan perorangan. Untuk itu pemerintah memberlakukan royalty atau rent kepada pengelola tersebut sebagai nilai ekonomi atau harga sumberdaya dalam persediaan yang nantinya akan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Menurut Darusman (1991), hubungan rent kehutanan dengan lokasi sumberdaya memiliki posisi yang paling rendah dengan slope yang datar dan lokasi yang paling jauh dari pusat sebagaimana ditunjukkan Gambar 3. Dengan demikian sumberdaya hutan termasuk sumberdaya yang kurang diintervensi oleh aktivitas manusia, sehingga cenderung wilderness dan bersifat unknown.




 

              
                Gambar 3. Hubungan Rent dengan Lokasi/Jarak Sumberdaya
Berdasarkan Gambar 3 di atas, dapat dijelaskan bahwa dengan slope yang datar maka jarak keberadaan sumberdaya hutan tidak mempengaruhi besarnya rent lahan (land rent). Dengan demikian kontribusi dan nilai manfaat sumberdaya hutan dalam perekonomian akan bersifat given, sehingga hal tersebut tentunya bertentangan dengan kenyataan bahwa kontribusi dan manfaat hutan multiguna dalam perekonomian. Oleh karena itu memperhitungkan kontribusi dan manfaat lahan kehutanan yang tinggi dalam perekonomian maka slopenya akan miring (negative) dan posisinya relative lebih dekat dengan pusat yang dapat menggeser posisi sector lain misalnya pertanian.
Menurut Koutsoyiannis (1982), nilai economic rent dipresentasikan oleh besarnya pembayaran untuk factor tetap yang berlebihan yang merupakan biaya opportunitas dari lahan. Hal tersebut mempertimbangkan lahan sebagai factor produksi yang berlebihan meskipun tingkat produksinya tetap.

Berdasarkan sifat sumberdaya hutan yang mempunyai cakupan yang luas atau beragam maka sumberdaya hutan diklasifikasikan kedalam berbagai jenis berdasarkan fungsi utama, tipe hutan, dan system silvikultur. Klasifikasi hutan menurut fungsi utama terdiri atas : (1) Hutan produksi, yang berfungsi sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya, (2) Hutan lindung, yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tata air dan pemeliharaan kesuburan tanah dalam suatu wilayah, (3) Hutan suaka alam, yang berfungsi sebagai pemeliharan dan penjaga kelestarian ekosistem bagi kepentingan manusia generasi mendatang, (4) Hutan wisata, yang berfungsi sebagai penyedia jasa rekreasi dan jasa wisata lainnya, dan (5) Hutan konservasi/cadangan, yang berfungsi sebagai persesiaan bagi keperluan sector selain kehutanan. Dalam klasifikasi ini di Indonesia terdapat Taman Nasional yang merupakan suatu bentuk pola manajemen yang menggabungkan hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan lindung ke dalam system manajemen terpadu (Darusman, 1991).

Klasifikasi sumberdaya hutan berdasarkan tipe hutan terdiri atas : (1) Hutan mangrove, (2) Hutan pantai, (3) Hutan rawa-gambut, (4) Hutan hujan tropis dataran rendah, (5) Hutan hujan tropis dataran tinggi, (6) Hutan musim. Klasifikasi tipe hutan tersebut muncul atas pertimbangan kebutuhan ekosistem dan jenis pemanfaatan yang berbeda satu dengan lainnya. Selanjutnya klasifikasi sumberdaya hutan berdasarkan system silvikultur tersebut terbatas siperuntukkan bagi hutan produksi. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat masing-masing silvikultur memiliki perwujudan ekosistem dan produktivitas unsure-unsurnya yang berbeda bagi kepentingan pembangunan.

Sumberdaya hutan termasuk dalam kelompok sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable resources atau flow resources) yang diartikan sebagai sumberdaya alam yang selalu berubah jumlahnya (Barlow, 1978). Oleh karena itu sumberdaya hutan tersebut akan mudah diboroskan dan hilang. Dengan demikian terkadang pemilik sumberdaya hutan bertindak sebagai speculator dengan menunda penggunaan dengan harapan memperoleh penerimaan yang lebih tinggi di kemudian hari. Tetapi terkadang pemilik bertindak sebaliknya yaitu ingin segera menggunakannya sekarang Karen takut kalau di kemudian hari seumberdaya tersebut tidak akan muncul nilainya.
Sumberdaya hutan sebagai sumberdaya yang dapat diperbarui atau pulih dapat digunakan secara  bijaksana yaitu untuk menghasilkan penerimaan (revenue) dan kepuasan ekonomi (utility) yang maksimum. Hal ini berarti dalam pengeksploitasian sumberdaya hutan diperlukan adanya pelaksanaan pengaturan secara lestari dan dapat memelihara dan memperbaiki kapasitas sumberdaya tersebut untuk keperluan masa mendatang. Guna merealisasikan eksploitasi sumberdaya hutan secara lestari, maka diperlukan cara pengolahan secara tepat yang disertai dengan rehabilitasi atau penghijauan kembali lahan-lahan hutan. Sehingga bila terjadi dapak negative akibat pengeksploitasian hutan, maka dampak tersebut telah dipikirkan penangannya.
Potensi kayu (pohon) dapat ditebang  memerlukan waktu yang relative lama untuk tumbuh, maka permasalahan ekonomi yang perlu diperhatikan adalah waktu yang optimum bagi pelaksanaan penebangannya. Oleh karenanya perlu diperhatikan tingkat diskonto yang akan dipakai untuk menghitung nilai sekarang dari investasi dalam bidang sumberdaya hutan. Lebih lanjut bahwa tingkat diskonto yang rendah akan menghasilkan nilai sekarang yang tinggi dan sebaliknya (Suparmoko,2000).

4 Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan
Menurut Davis dan Johnson (1987), nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkannya.
Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Selanjutnya, menurut Tietenberg (1992), nilai yang diberikan terhadap sesuatu atau komoditas, pada dasarnya ditentukan oleh kesediaan individu membayar (willingness to pay) untuk jumlah dan kualitas dari komoditas tertentu yang lazim diukur dengan nilai uang dalam transaksi kegiatan ekonomi atau harga pasar. Nilai tersebut mencerminkan besarnya korbanan yang setara dengan utilitas yang diterima. Adanya variasi tingkat kemakmuran menyebabkan adanya perbedaan antara harga pasar dengan consumer surplus, maka total nilai ekonomi untuk barang dan jasa sumberdaya hutan, termasuk air yang umumnya tidak mempunyai harga pasar, sarat dengan ketidak pastian dan bersifat public goods, adalah merupakan total willingness to pay.
Pengertian nilai ekonomi sumberdaya hutan berdasarkan nilai kesediaan untuk membayar (willingness to pay) pada dasarnya mempresentasikan kurva demand. Artinya, pengelola sumberdaya hutan akan bersedia memberikan nilai atau harga atas hasil hutan yang diambilnya. Oleh karena pada eksploitasi sumberdaya hutan akan menimbulkan kerusakan lingkungan maka nilai willingness to pay akan semakin tinggi jika kerusakannya semakin besar. Sementara itu masyarakat yang bersedia menanggung resiko atas kerusakan sumberdaya hutan akan menerima nilai ekonomi (willingness to accept) yang memprestasikan kurva supply. Dengan demikian kondisi optimum dalam pengelolaan sumberdaya hutan terjadi pada saat nilai willingness to pay dan willingness to accept tersebut dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 4.

Pengertian nilai ekonomi menurut konsep ekonomi bahwa kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itu terdapat dua pengertian nilai ekonomi, yaitu nilai guna dan nilai korbanan. Nilai guna adalah nilai dari barang dan jasa berdasarkan kegunaannya yang memiliki kualitas tertentu dalam memberi kepuasan (utility) baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ini tidak dipengaruhi oleh tingkat kelangkaan (supply) maupun permintaan (demand), dan tidak bisa diukur dengan harga pasar. Sedangkan nilai korbanan adalah nilai menurut kemampuan barang yang diukur berdasarkan besarnya pengorbanan untuk memperolehnya barang tersebut. Oleh karena itu nilai korbanan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh utility dan kelangkaannya, tetapi juga oleh tingkat permintaan dan harga pasar (Pindyek and Rubinfeld, 2001).






Gambar 4. Optimum Pengelolaan SDH Berdasarkan WTP dan WTA
Nilai ekonomi merupakan salah satu ukuran yang sering dijadikan dasar dalam analisis, namun ukuran ini sangat relative tergantung kepada sifat barang, hubungan dengan barang lainnya, dan orang yang menilai. Nilai yang dapat diukur umumnya hanya didasarkan pada sebagian karakteristik yang terkait dengan keinginan atau preferensi seseorang. Dalam hal ini kemampuan seseorang untuk menilai sangat berkaitan dengan tingkat kemakmuran atau consumer surplus dan mekanisme kelembagaan yang mengatur interaksi berbagai keinginan (Young, 1992).

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan nilai barang dan jasa sumberdaya hutan secara financial, yaitu melalui pendekatan kurva demand dan non-kurva demand (Turner, et al,1994). Pendekatan kurva demand dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan atau consumer surplus dan mempunyai nilai positif. Sedangkan pendekatan non-kurva demand tidak mengukur tingkat kesejahteraan namun berguna sebagai informasi dalam pertimbangan pengambilan kebijaksanaan.
Nilai manfaat sumberdaya hutan sangat ditentukan oleh hubungan timbal balik antara subjek penilai (manusia) yang memiliki berbagai nilai, dengan objek yang dinilai. Nilai manfaat sumberdaya hutan dapat dibedakan kedalam nilai guna (use-value) dan bukan nilai guna (non-use-value) (Turner at al, 1994; Young, 1992). Jumlah nilai keduanya merupakan total nilai ekonomi (total economic value) dari ekosistem hutan. Nilai guna mempunyai nilai positif yang dapat dihitung berdasarkan willingness to pay, sedang bukan nilai guna merupakan nilai yang diberikan seseorang terhadap sesuatu karena rasa simpatik dan atau penghargaan hak (right) atas hadirnya sesuatu yang sifatnya bukan manusia (impersonal), seperti hutan atau kehidupan liar, sebagai komponen ekosistem yang berfungsi mendukung kehidupan.
Menurut Davids and Johnson (1987), konsepsi nilai ekonomi sumberdaya hutan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu nilai pasar (market value), nilai kegunaan (value in use) dan nilai social (social value). Nilai pasar dihitung berdasarkan willingness to pay dari barang dan jasa hasil hutan. Nilai kegunaan hutan adalah nilai ekonomi sumberdaya hutan yang dihitung berdasarkan nilai vegetasi dan sekaligus lahannya. Nilai kegunaan tersebut dapat dihitung dengan 3 (tiga) cara yaitu: (1) nilai vegetasi dan lahan yang digunakan sekarang ataupun masa yang akan dating, (2) nilai jual vegetasi dan lahan pada harga pasar sekarang, dan (3) nilai kegunaan dari masing-masing pembelinya. Sedangkan nilai social dari sumberdaya hutan merupakann barang publik. Nilai social tersebut bersifat komplek dan sulit untuk dikuantifikasikan. Oleh karena itu perlu adanya peraturan perundangan dari pemerintah untuk mengatur nilai social sumberdaya hutan tersebut.

Menurut Suparmoko (2000), nilai ekonomi sumberdaya hutan dapat dibedakan nilai atas dasar penggunaan (instrumental value)/(use value) dan nilai yang terkandung di dalamnya (instrinsic value)/(non-use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan hutan yang muncul apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau diekploitasi. Sedangkan nilai yang terkandung Di dalam hutan adalah nilai yang melekat pada keberadaan hutan sendiri, misalnya pengatur cuaca, pangatur mata air, penghasil udara bersih, penyerap pencemaran udara dan sebagainya. Selanjutnya use value dapat dipilah kembali menjadi nilai atas dasar penggunaan langsung (direct use value),nilai atas dasarpenggunaan tidak langsung (indirect use value), nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value) dan nilai yang diwariskan (bequest value)

Lebih lanjut menurut Pearce (1993), nilai non use value dapat dibedakan menjadi nilai atas dasar keberadaaanya (existence value) dndasar warisan generasi sebelumnya (bequest value). Sebagaigambaran embagian tersebut adalah keberadaan sumberdaya hutan yang dilestarikan dapat memenuhi kebutuhan rekreasi dan kesempatan lain (warisan) dan juga keberdaan hutan tersebut dapat memelihara sumberdaya hayati (biodiversity). Penilaian nilai ekonomi tersebut dapat dilihat pada gambar 5.

5. Peran nilai ekonomi sumberdaya hutan dan perekonomian wilayah
Nilai ekonomi sumberdaya hutan merupakan indicator yang berpengaruh terhadap kebijakan, sikap dan tingkah laku semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan (Supriadi, 1997). Penilaian ekonomi bukan suatu proses akhir tetapimempunyai peran langsung dalam pengambil kebijakan pereknomian wilayah. Disamping itu nilai ekonomi sumberdya hutan juga berperan`dalam berbagai hal antara lain mengidentifikasi dan membandingkan biaya hidup dengan keuntungan, sebagai informasi mengenai efisiensi investasi baik pada sector pemerintahan maupun swasta.
Pola interaksi antara nilai eknomi dan kebijakasanaan ekonomi perekonomian wilayah secara hipotetik disajikan dalam gambar 6, dalam hal ini hutan dan pengelolaannya diasumsikan berada pada posisi suplly dan berperan sbagai sekotor ekonomi. Produk atau output yang dihasilkan menjadi input terhadap ekonomi yang menyebabkan; (1) berjalannya berbagai aktivitas produksi barang dan jasa, (2) terbukanya lapangan kerja dan (3) meningkatkan pendapatan pemerintah dan masyarakat. Daam perekonomian wilayah, nilai tersebut diukur secara agregat sebagai nilai tambah yang menjadi ukuran nilai kontribusi terhadap pendapatan ekonomi wilayah (PDRB).





Gambar 5. Diagram nilai sumberdaya hutan.
Sumber : Pearce (1993)

Supriadi (1997) menjelaskan bahwa dalam mekanisme pasar, tingkah laku supply ditentukan oleh nilai atau harga, kenaikan harga akan merangsang supply bekurang. Demikian pula karakter pengelola kawasan hutan mempunyai analogi bahwa upaya pelestarian hutan merupakan kebijakan suplly yang dipengaruhi oleh harga atau nilai manfaat produknya, sehingga kebijkaan alokasi dana pengelolaan hutan akan sangat dipengaruhi oleh besarnya nilai kontribusi atau nilai tambah yang dihasilkan dari sector kehutanan sebagai gambaran nilai atau harga dari produk hutan tersebut.
Ditinjau dari aspek ekonomi wilayah, kehutanan berperan dalam penyediaan lapangan kerja dan pendapatan nasional. Hal tersebut tercermin dalam struktur ekonomi kehutanan yang memiliki lima segmen kegiatan, yaitu: (1) proses produksi primer tanaman hutan, (2) pemanenan atau ekslpoitasi, (3) pengolahan hasil hutan, (4) peredaran atau distribusi dan (5) konsumsi. Seliuruh segmen kegiatan tersebut menyerap tenaga kerja yang cukup banyak (Gregory, 1972).

 


Sumber : Supriadi (1997)
Gambar 6. Diagram peran sumberdaya hutan dalam perekonomian wilayah

2.6. metode penilaian ekonomi sumberdaya hutan
Penilaian atau valuasi ekonomi sumberdaya hutan dilaksanakn dengan melakukan identifikasi kondisi bio fisik sumberdaya hutan dan social budaya masyarakat setempat. Valuasi ditujukan untuk mengkuantifikasi setiap indicator  berupa hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan dalam kaitannya dengan indicator social budaya setempat (Davis & Jhonson, 1987). Lebih lanjut Davis dan jhonson (1987) menyatakan bahwa pada prinsipnya metode valuasi sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan ketersediaan membayar (WTP).
Kesediaan untuk membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai alternative teknik valuasi  ekonomi sumberdaya hutan. Dalam kondisi pasar tidak mengalami penyimpangan, maka WTP akan sama dengan harga pasar. Namun pada saat terjadi distorsi mekanisme pasar atau kegagaan pasar, maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP (Conrad, 1999; Hufscmidt, 1983; dan Timothy, 2003).
Metode yang didasarkan pada pendekatan harga pasar terdiri atas dua metode, yaitu metode manfaat social bersih (net social benefit method) dan harga pasar (market price method). Sedangkan metode berdasarkan kesediaan untuk membayar terdapat beberpa alternative berdasarkan karakteristik manfaat sumberdaya tersebut (Bahruni, 1999; Davis dan jhonson, 1987) seperti yang terlihat pada table 1.


Tabel 1. Klasifikasi nilai dan metode valuasi sumberdaya hutan
No
Klasifikasi Nilai
Metode valuasi
1
Nilai guna (use value) dan nilai pilihan/ masa depan (option value)
1.       Manfaat social bersih (net social benefit)
2.       Metode harga pasar (market price methods)
3.       Harga pengganti (surrogate prices)
4.       Nilai sebagai factor produksi (value in production)
5.       Biaya perjalanan (travel cost method)
6.       Valuasi kontingensi (contingent valuation)
2
Nilai keberadaan (exixtence value)
1.       Metode perlindungan asset (protection of asset)
*biaya penggantian (cost of replacement)
*biaya rehabilitasi (cost of rehabilitation)
*Nilai kehilangan produksi(cost of lost production)
2. hedonic pricing
3. nilai sebagai factor produksi (value in production)
4. harga pengganti (surrogare prices)
5. penilaian kontingensi (contingent valuation)
Para ahli ekonomi dewasa ini mengembangakan berbagai teknik dan metode valuasi dn perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkunganna pada kondisi pasar tidak sempurna. Hufschmidt (1983) menyimpulkan bahwa metode atau teknik valuasi ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.       Teknik valuasi yang berdasarkan pada harga pasar atau produktivitas seperti perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan yangberasal dari manfaat sumberdaya hutan
2.       Teknik valuasi yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi input/ subsitusi seperti biaya penggantian,biaya produk bayangan, analisis biaya pengeluaran dan biaya pencegahan.
3.       Valuasi dengan pendekatan survey yaitu mnanyakan besarnya WTP konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar hipotesis. Teknik meliputi, teknik valuasi Delpi, permainan alih tukar, pilihan tanpa baiay, teknik valuasi prioritas.
Beberapa teknik atau metode valuasi ekonomi yang dapat diaplikasikan untuk menilai sumberdaya hutan menurut Dixxon dan Sherman (1990). Sanim (203.a) dan Champ et al (2003) antara lain;
1.       Metode berbasis pasar actual (actual market based methods)
Metode ini menggunakan harga pasar actual sebagai harga yang dianggap mendekati nilai barang (kayu, rotan, getah dan sebagainya) dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan hutan seperti air. Suatu teknik yang sederhana untuk menentukan nilai barang dan jasa hasil hutan tersebut adalah sengan cara membandingan dengan harga yang dijual di pasar setempat. Yamng termasuk metode ini antara lain:
a.       Perubahan dalam produktivitas (change in productivity)
Valuasi ekonomi sumberdaya hutan juga dapat dilakukan dengan melihat pemanfaatan air sebagai input proses produksi industry atau pertanian. Kawasan hutan menjamin kelangsungan industry atau pertanian yangbertumpu pada sumberdaya hutan. Sehingga, jika kawasan hutan dirusak maka akan menyebabkan jumlah produksi menurun sehingga terdapat jumlah produksi yang hilag. Harga dari jumlah produksi yang hilang tersebut merefleksikan nilai ekonomi dari sumberdaya hutan terhadap penurunan produksi perikanan, pertanian dan perkebunan yang berada di sekitar hutan
b.       Kehilangan penghasilan. (loss of earning)
Kawasan hutan terutama kawasan konservasi memberikan jasa ekologis yang berupa kontribusi udara bersih untuk kepentingan manuasia. Jika jasa ekologis tersebut hilang maka kemampuan manusia untuk memproduski sesuatu akan menurun sehingga akan terjadi kehilangan pendapatan.

2.       Metode berbasi biaya (cost based methods)
Penghitungan nilai ekonomi berdasarkan opportunity cost dari kawasan dengan menghitung biaya/kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat hilangnya akses pemanfaatan sumberdaya hutan. Biaya/ kerugian yang dikeluarkan untuk mempertahankan barang dan jasa yang diberikan oleh kawasn hutan tersebut anatara lain:
a.       Biaya penggantian (replacement cost)
Sumberdaya hutan berfungsi mempertahankan kualitas lahan dan produktivitasnya. Apabila terjadi deforestasi maka ia akan meningkatkan erosi tanah dan menutunnya produktivitas lahan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan tersebut dapat diganti dengan melakukan pemupukan. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk merupakan nilai ekonomi dari kawsan hutan
b.       Biaya kesempatan (opportunity cost)
Biaya kesempatan direpsentasikan oleh nilai ekonomi kawasan hutan yang dapat diketahui melalui nilai bersih skarang (net present value NPV) dari berbgai alternative penggunaan lahan. Dalam hal ini nilai NPV dari kawsan hutan dihitung berdasarkan kuantifikasi manfaat ekonomi penggunaan lahan dan biaya pengelolaannya.
c.       Biaya preventif (preventive cost)
Keberadaan kawasan hutan dapat menghindari kerugian masyarakat. Dalam hal ini dapat dilustrasikan dengan fungsi keutuhan kawsan hutan bagi pengendalian banjir didaerah sekitarnya. Apabila penebangan hutan dilakukan, maka masyarakat dan pemerintah harus mengeluarkan biaya penanggulangan banjir tersebut. Biay tersebut merupakan nilai ekonomi hutan

3.       Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based methods)
Metode valuasi sumberdaya hutan yang  berbasis mewakili pasar diukur berdasarkan keberadaannya dalam mempengaruhi harga pasar. Yang termasuk dalam metode ini antara lain:
a.       Teknik Biaya Perjalanan (Travel Cost)
Penerapan teknik biaya perjalanan biasanya untuk menentukan nilai jasa rekreasi dari kawasan hutan dengan melihat kesediaan membayar (Willingness to pay)  oleh wisatawan atau pengunjung. Oleh karena itu besarnya biaya tersebut di tunjukkan oleh kesediaan membayar harga tiket masuk kawasan, biaya transportasi menuju lokasi, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan oleh pengunjung.
b.      Teknik Harga Hedonik (Hedonic Pricing Techniques)
Teknik hedonic dilakukan melalui suatu penilaian jasa lingkungan, yang keberadaannya mempengaruhi harga pasar barang tertentu. Sebagai contoh nilai kualitas lingkungan yang mempengaruhi harga rumah tinggal. Lingkungan perumahan yang bersih, sehat dan nyaman, maka nilai lingkungannya akan relatif besar sehingga harga jual rumah tersebut menjadi meningkat.

c.       Teknik Proksi Substitusi (Substitution Proxy Techniques)
Teknik proksi substitusi dilakukan untuk mengukur nilai variabel sumber daya hutan dengan proksi variabel lain baik dari sektor  kehutanan ataupun sektor lain. Sebagai contoh nilai air di proksi dari nilai produksi padi yang prosesnya menggunakan air.
d.      Teknik Diferensiasi Gaji ( Wage Differencial Techniques)
Teknik ini dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya hutan dengan cara menghitung diferenasi gaji atau upah pekerja pada kegiatan pengelolaan kawasan hutan.

4.       Metode Berbasis Pasar Kontingensi (Contigent Market-Based Methods)  
Penerapan Metode ini dilakukan jika tidak ada pasar yang relevan terhadap barang dan jasa lingkungan kawasan hutan. Kepada individu-individu secara langsung ditanyakan tentang kesediaan mereka membayar untuk barang dan jasa yang diperoleh dari sumberdaya hutan atau kesediaan mereka menerima kompensasi jika barang dan jasa sumberdaya hutan tersebut tidak boleh mereka manfaatkan lagi.
        Lebih lanjut Sanim (2003a) menjelaskan dua pendekatan untuk melakukan valuasi sumberdaya alam (termasuk hutan) yaitu :
a.       Pendekatan Kurva Permintaan
Pendekatan kurva permintaan didasarkan pada Wilingness to pay (WTP) sumberdaya alam tersebut. Pendekatan ini dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu :
1.       Permintaan diturunkan dari pernyataan preferensi, yaitu individu untuk barang sumberdaya alam atau lingkungan diperoleh dari survey dengan menggunakan kuesioner.
2.       Permintaan yang terungkap dari menganalisis pembelian barang tertentu dipasar yang memungkinkan dapat dinikmati jasa lingkungan tertentu secara bersamaan.

b.      Pendekatan Tidak Mendasar Kurva Permintaan
Pendekatan ini tidak memberikan penilaian ekonomi yang sejati, tetapi tetap sangat berguna dalam   aplikasi valuasi sumberdaya alam.
Pendekatan ini terdiri atas:
1.       Metode dosis-respon, yaitu menentukan data yang menghubungkan antara respon manuasi ataupun bukan manusia dengan berbagai tingkat pencemaran lingkungan.
2.       Metode biaya pengganti yaitu mengestimasi biaya untuk menggantikan atau memulihkan asset lingkungan yang terdegradasi sehingga hilang jasa-jasanya. Estimasi biaya tersebut digunakan mengukur manfaat restorasi.
3.       Metode Mitigasi (menghindar), yaitu mengukur besarnya biaya untuk menghindari pengaruh pencemaran.
4.       Metode biaya kesempatan (opportunity cost)  yaitu melakukan penilaian manfaat lingkungan dengan menentukan nilai benchmark tertentu. Sebagai contoh biaya untuk melakukan konversi wetland menjadi lahan pertanian intensif sebagai nilai benchmark, maka jika biaya konvensi tersebut kurang dari benchmark  maka dapat dikatakan tidak bermanfaat.

2.7.       Hasil – hasil Studi Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan
                Pada  kondisi umum nilai ekonomi sumberdaya hutan produksi dengan pendekatan biaya kegiatan pengelolaan hutan sebelum dikenakan pungutan Rp. 434 454/m3 untuk hutan rawa, dan sebesar Rp. 688 714/m3 untuk hutan bukit. Adapun struktur biaya pengelolaan rata-rata belum memasukan pungutan tersebut adalah : perencanaan  3%, pemanenan hasil hutan (termasuk jalan ranting, sarad, dan pemeliharaan jalan)  42%, pembinaan hutan (termasuk penanaman tanah kosong, kiri kanan jalan) 9%, kelola lingkungan dan social 2%, penyusutan sarana dan prasarana  31%, umum dan administrasi  13% (Bahruni, 2003).
            Sementara itu manfaat tidak langsung (Indirect Use Values)  dari kawasan konservasi terpadu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai penyedia air yang nilai ekonominya sebesar Rp. 4 341 miliar per tahun atau Rp. 280 juta per hektar. Nilai ekonomi tersebut didasarkan pada kesediaan masyarakat membayar agar air tetap secara teratur mendukung penyediaan air minum, sanitasi, dan pertanian (Darusman, 1993). Sedangkan menurut Kramer et al dalam Effendi (2001), nilai manfaat perlindungan air secara ekologis dari hutan lindung di Ruteng Pulau Flores sebesar US$ 35 per kepala rumah  tangga per tahun.
                Nilai ekonomi jasa rekreasi kawasan konservasi dengan fungsi cagar biosfer Pulau Siberut Sumatera Barat yang diukur berdasarkan kesediaan wisatawan membayar (willingness to pay) sebesar US$ 23 per kunjungan. Pembayaran jasa rekreasi tersebut untuk membayar tiket guna mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional. Dukungan biaya dari pembayaran tiket masuk kawasan konservasi tersebut cukup besar dalam melaksanakan upaya-upaya pelestarian hutan (Tim Universitas Duke dalam Effendi (2001).
                Beberapa studi valuasi ekonomi sumberdaya hutan secara lebih rinci dari 1992 sampai dengan sekarang dapat dilihat pada Tabel 2. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada umumnya masih bersifat parsial, misalnya terbatas manfaat air hutan lindung, jasa wisata hutan wisata, nilai kayu, dan sebaginya. Sehingga jika dikaitkan dengan perekonomian wilayah maka penelitian-penelitian tersebut belum dapat diaplikasikan secara tepat.









Tabel 2. Beberapa Studi Penilaian Ekonomi Sumberdaya Lingkungan Di Indonesia
Tahun
Lokasi
Peneliti Utama
Metode
Hasil
1992
Wilayah Hutan Negara di Jateng
Tatuh
Pendekatan Perilaku dan dependensi dengan model logit
Jumlah masyarakat didalam dan disekitar hutan yang mengambil hasil hutan berupa :
-       Kayu Bakar = 82.5%
-       Makanan Ternak = 66.9%
1992
Wilayah Hutan Tropis Indonesia
Sutopo
Pendekatan Positive Economics dengan model Quasi-Rent
Nilai sewa (Rent) Ekonomis Hutan Tropis Indonesia Rp. 104 336 /m3 dimana Pemerintah menerima 34% (Rp. 35 343 /m3 dan Pengusaha menerima 66% (Rp. 68 902 /m3)
1992
Teluk Bintuni, Papua
Ruitenbeek *)
Harga bayangan, pendekatan produksi
Nilai ekonomi total dari produksi local yang dapat dan tidak dapat dipasarkan masing-masing sebesar Rp. 5.1 jita dan 9 juta per tahun per kepala rumah tangga
1993
TN. Gunung Gede Pangrango
Darusman
Model Input output
Nilai manfaat air yang diberikan TNGP sebesar Rp. 4.31 miliar/tahun atau sekitar Rp. 28 juta / ha/tahun kepada masyarakat sekitar
1993
Taman Nasional & Hutan Wisata di Pulau Jawa
Bahruni
Metode Biaya Perjanan
Willingness to pay untuk jasa rekreasi hutan wisata dan taman nasional di Pulau Jawa berkisar Rp. 1.5 – 9.6 juta/ha/tahun, dan khusus Jawa Tengah (HW. Grojokan Sewu) adalah tertinggi yaitu Rp. 9.6 juta/ha/tahun
1995
TN Gunung Gede Pangrango
Susmiato
Pendekatan Pengeluaran
Rekreasi mempengaruhi 13 sektor ekonomi dengan total pengeluaran sebesar Rp 471 juta dari output atau penjualan, Rp. 80 juta dari pendapatan dan 155 orang pekerja
1996
TN Bukit Baka-Bukit Raya, Kalteng & Kalbar
Saunder *)
Contingent Valuation
Nilai Perlindungan diperkirakan sebesar Rp. 10 miliar per tahun
1996
Sungai Ciliwung, Jakarta
Saunder *)
Contingent Valuation
Manfaat ekonomi dari membaiknya kualitas air sungai ciliwung diperkirakan sebesar US$ 30 juta per tahun
1997
Siberut Ruteng
Kramer *)
Pendekatan Produktivitas, biaya perjalanan dan contingent Valuation
Kesediaan membayar untuk mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional pulau Siberut sebesar US$ 23.Manfaat ekonomi perlindungan air di Ruteng, Flores sebesar US$ 35 per kepala rumah tangga per tahun
1997
Hutan Lindung DAS Citarum Hulu
Supriyadi
Model Input-output
Nilai total air dari hutan lindung dan hutan produksi seluas 76 273.19 ha pada jumlah penduduk Kabupaten 3.3 juta jiwa adalah sebesar Rp. 54.5 milyar. Konstribusi sektor hutan lindung terhadap total produk domestic regional bruto  (PDRB) 0.48% diwilayah ekonomi Kabupaten Bandung.
Tabel 2 Lanjutan
Tahun
Lokasi
Peneliti Utama
Metode
Hasil
1998
Kebakaran Hutan
WWF/EEPSEA *)
Produktivitas, keseharan, pengeluaran dan benefit transfer
Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan sebesar US$ 4.5 miliar
1998
TN Gunung Leuser
Elfian/WWF dan CIFOR *)
Pendekatan produktivitas dan pengeluaran
Nilai ekonomi air untuk irigasi, industry, dan kebutuhan sehari-hari diperkirakan bernilai sebesar U$ 4.3 juta per tahun
1999
Kepulauan Togean, Sulteng
Cannon *)
Pendekatan produktivitas dan pengeluaran
Dengan tingkat diskon 5 % selama 25 tahun, NPV dari ekowisata Rp. 5.3 miliar dan kehutanan Rp. 4.1 miliar
2001
Provinsi Jambi Kalimantan Tengah
Fahutan IPB dan Dephut
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
Nilai ekonomi total hutan lahan Kering :
Di Jambi : Rp. 199.4 juta/ha/tahun
Di Kalteng : Rp. 124.3 juta/ha/tahun
Nilai Ekonomi total hutan lahan basah :
Di Jambi : Rp. 150.3 juta/ha/tahun
Di Kalteng : Rp. 115. 1 juta/ha/tahun
2002
Kabupaten Blora Jawa Tengah
Yulianto
Model Spacial AutoRegressive (SAR)
Frekuansi rata-rata illegal logging selama 1997-2002 sebanyak 9.807 kasus/tahun, dengan kerugian sebesar Rp. 12.1 milyar/tahun. Nilai kerugian akibat deforestasi sebesar Rp.2.1 milyar/tahun
2004
Hutan Mangrove di Sulawesi Tenggara
Alfian
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
Nilai ekonomi total hutan mangrove sebesar Rp. 8 315 / ha/tahun
2004
Wilayah DAS Citanduy Kabupaten Ciamis dan Tasik malaya
Kirsfianti
Pendekatan penjumlahan  pada Agroforestry
Produksi  dari Agroforesty sebanyak pada kisaran 19.2 – 85.7 ton/ha/tahun dengan rata-rata 41.6 ton/ha/tahun
2004
Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat
Widada
Nilai Ekonomi total dan analisis biaya manfaat
Nilai ekonomi total (NET) TNGH adalah sebesar Rp. 439.75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerapan karbon Rp. 429.77 milyar (97.73%), nilai ekowisata Rp. 1.27 milyar (0.29%, nilai air (domestik dan pertanian) Rp. 6.64 milyar (1.51%) ,  nilai pelestarian Rp.0.67 milyar (0.15%), nilai pilihan Rp. 0.76 milyar (0.17%), dan nilai keberadaan sebesar Rp. 0.64 milyar (0.15%).
Keterangan : *) sumber Effendi (2001)


2.8
Konsep Kelembagaan
    Pengertian umum kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompeks, rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adatistiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu hal yang dicirikan adanya property right  (hak kepemilikan), aturan representative atau batas yuridiksi. Lebih lanjut kelembagaan dapat menjadi pengubah eksogen dalam proses pembangunan, dengan demikian kelembagaan menyebabkan perubahan. Di pihak lain kelembagaan dapat menjadi peubah endogen, sehingga kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem peubah lain (Pakpahan, 1989).
    Menurut Schmid (1987), terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai aturan main yang mengatur hubungan antara individu yang didefinisikan haknya dan tanggung jawabnya. Sedangkan kelembagaan sebagai sistem organisasi merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
    Kelembagaan dibangun dengan 3 (tiga) komponen utama yaitu : (1) Karakteristik sumberdaya, (2) stuktur hak-hak (property right) dan (3) performa. Berdasarkan asumsi interdefendensi antara pelaku-pelaku ekonomi, maka proses determinasi performa merupakan resultante dari interaksi karakteristik sumberdaya dengan struktur hak-hak. Karakteristik sumberdaya akan menentukan sifat interdefendensi antar pelaku ekonomi yaitu menentukan arah dan derajat efek yang timbul dari tindakan satu pihak kepada pihak lain. Sedangkan struktur hak-hak akan menentukan distribusi biaya manfaat. Pola distribusi hak dan kewajiban ditanggapi oleh setiap individu menurut perilakunya, sehingga akan menentukan performa. Struktur hak-hak dikendalikan oleh pilihan public sebagai suatu bentuk implementasi kekuasaan melalui makanisme transaksi (Schmid, 1987).
    Konsep property right mengandung makna social, yaitu bahwasannya. Hak (Right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus  anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya karena itu pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan (2) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan kontrol terhadap sumberdaya. Hak dapat diperoleh melalui pembelian apabila barang atau jasa tersebut dapat diperjualbelikan, diberikan atau hadian, dan diatur oleh administrasi pihak yang berwenang.
    Tietenberg (1994) menyatakan bahwa struktur hak kepemilikan yang dapat menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien mempunyai empat karakteristik, yaitu :
1.          Universality,  seluruh sumberdaya (Asset) dimiliki secara individu dan seluruh hak-hak atas penggunaaan sumberdaya tersebut didefinisikan dengan jelas.
2.          Exclusivity,  seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya tersebut harus ditanggung/ dinikmati hanya oleh pemiliknya.
3.          Transferability,  hak kepemilikan harus dapat dipindah tangankan dari pemilik yang satu kepemilik yang lain dengan sukarela.
4.          Enforceability,  hak kepemilikan harus aman dari kemungkinan adanya gangguan pihak lain.
Menurut, Turner, at al (1994), bentuk kepemilikan secara umum dibagi menjadi empat jenis yaitu :
1.          Hak milik yang berisfat umum (common property), yaitu hak yang dipandang dari segi ekonomi bukan merupakan hak milik karena barang yang dimilki secara umum merupakan barang yang dapat dipergunakan oleh setiap orang untuk berbagai keperluan tanpa adanya biaya yang dikeluarkan, misalnya udara, air, sungai dan lain-lain.
2.          Hak milik umum yang terbatas (restricted common property), yaitu asset masyarakat dikelola oleh suatu badan public atau pemerintah. Pemerintah dapat membatasi penggunaan hak milik dengan berbagai cara yang dikehendakinya.
3.          Hak pakai (status-tenure), yaitu pemakai asset dibatasi hanya untuk orang-orang atau badan-badan tertentu yang ditetapkan berdasarkan hukum. Dengan demikian kepemilikan menjamin pemakaian asset sesuai kewenangan atas kepemilikan tersebut. Hak pakai dapat dipindah-tangankan.
4.          Hak milik penuh (private property right) , yaitu hak milik dapat dipindahkan dan pemindahan suatu asset mengarah pada terbentuknya harga yang sebenarnya. Sesuatu yang dimiliki dapat dihargai dan sesuatu yang berharga dapat dimiliki tetapi hubungan fungsional antara harga dan hak milik sulit ditentukan secara tepat. Walaupun hak milik ini merupakan dasar konsepsi pemilikan dalam masyarakat, namun hak milik tersebut perlu dibatasi guna mencegah munculnya kesenjangan sosial.
            Lebih lanjut menurut Pakpahan (1989), konsep batas yurisdiksi kelembagaan akan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksidapat berarti wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duannya. Keefektifan dari batas yurisdiksi terhadap kinerja ditentukan oleh empat hal, yaitu : (1) perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community), (2) eksternalitas, (3) homogenitas dan (4) skala usaha.
            Perasaan sebagai suatu masyarakat merupakan variabel psikologi penting yang sering diabaikan dalam analisis ekonomi. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki satu hubungan dengan yang lainny. Sense of community ini menentukan siapa yang termasuk dalam suatu masyarakat dan siapa yang tidak. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial (social distance)  yang akan menetukan kadar komitmen yang dimiliki  oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
            Homogenitas preferensi masyarakat dalam kaitannya dengan konsumsi atas barang dan jasa yang dikonsumsi secara kolektif berkaitan dengan siapa yang memutuskan jawaban atas pemanfaatan barang dan jasa . adanya homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi pengambilan keputusan.
            Aturan representative merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi, terdapat dua jenis biaya yang mendasari keputusan. Yaitu : (1) biaya membuat keputusan sebagai produk dan partisipasi dalam membuat keputusan dan (2) biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuh organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut. Aturan representatif akan mempengaruhi  struktur yang besarnya biaya tersebut. Aturan pengambilan keputusan yang sederhana untuk masalah ini dalah meminimumkan kedua biaya. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan.
2.9  Kelembagaan Sektor Kehutanan
Implikasi dari konsep kelembagaan pada pengelolaan sumberdaya hutan adalah pengendalian terhadap interaksi berbagai kepentingan mengatur hak dan kewajiban “apa dan siapa” dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada perekonomian suatu wilayah. Pengaturan hak dan kewajiban tersebut akan melibatkan semua pelaku ekonomi yaitu pemerintah, masyarakat dan pihak swasta / pengusaha (Supriadi, 1997).
Dalam ruang lingkup property right,  maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa hutan adalah milik Negara yang dimanfaatknan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Penanggungjawab pengelolaan hutan adalah pemerintah yang dapat dilakukan lembaga atau badan hukum (BUMN, Swasta, Koperasi), kelompok masyarakat ataupun perorangan. Demikian pula sesuai dengan cirri batas yurisdiksi kelembagaan maka batas bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan areal hutan dan hasil hutan dapat dijadikan sebagai cara untuk melestarikan sumberdaya hutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 yang telah diperbaharui dengan beberapa Peraturan Pemerintah dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2003, bahwa pengelolaan hutan (produksi dan lindung) di Pulau Jawa ditangani oleh Perum Perhutani. Sementara itu urusan sektor kehutanan di daerah yang menyangkut pengelolaan daerah aliran sungai ditangani oleh Lembaga Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan yang bernama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) . dan, Pengelolaan kawasan hutan konservasi ditangani oleh UPT yang bernama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Sedangkan pelaksana urusan sector kehutanan yang didesentralisasikan ataupun dekonsentrasi dan pembantuan adalah Dinas Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang menangani urusan sektor kehutanan tersebut.   

                                                                    
Label:

Post a Comment

Post a Comment

Powered by Blogger.