3 Konsep Sumberdaya Hutan
Dalam perekonomian, hutan dapat
dianggap sebagai sumberdaya yang dapat menyediakan barang dan jasa untuk
keperluan masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan hutan di suatu wilayah telah
menjadikan hutan sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan ekonomi.
Pengelolaan hutan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan
ekonomi antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, serta
mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.
Barang yang dapat disediakan oleh
hutan antara lain kayu, getah, rotan, daun, makanan ternak dan lain-lain.
Sedangkan jasa dari hutan antara lain berupa komoditi air/tata air, tempat
rekreasi, plasma nutfah, pendidikan dan sebagainya. Lebih lanjut menurut World
Bank (1978), barang dan jasa dari hutan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga)
jenis yaitu barang dan jasa untuk konsumsi, bahan industry, dan yang
berpengaruh terhadap ekologi. Barang dan jasa untuk konsumsi bersifat
indigenous meliputi kayu untuk bangunan tempat tinggal (building poles), kayu bakar dan arang kayu (fuelwood and charcoal), bahan-bahan anyaman (weaning materials), dan kayu-kayu special (special woods and ashes). Barang untuk kegunaan sumber bahan industry meliputi bahan ekstraktif (gums, resins and oils), kayu bulat (logs) untuk pengergajian, kayu bahan
pulp dan kertas (pulp woods), plywood
atau kayu lapis, dan kayu limbah (waste)
untuk particle board, fibre board dan wastepaper. Sedangkan barang dan jasa
yang berpengaruh terrhadap
ekologi meliputi perlindungan terhadap daerah aliran sungai ataua perlindungan
terhadap daya tangkapan (cathment protection),
ekologi dan konservasi satwa liar (ecology
and wildlife conservation) dan pengendalian erosi tanah (soil erosion control).
Pada awalnya , sumberdaya hutan
dapat diperoleh di alam bebas dengan mudah karena adanya sifat open acces pada
hak penguasaan (property rights)
hutan oleh masyarakat di hutan. Namun karena luasnya manfaat dari hutan maka
lambat laun sumberdaya hutan tersebut semakin berkurang karena terus menerus
dieksploitasi, sehingga mengalami kerusakaan sumberdaya alam. Untuk
memperkecil tingkat kerusakan tersebut,
maka sumberdaya hutan tersebut dikelola oleh pemerintah atau diserahkan
pengelolaannya kepada pihak badan hukum swasta, koperasi dan bahkan perorangan.
Untuk itu pemerintah memberlakukan royalty
atau rent kepada pengelola
tersebut sebagai nilai ekonomi atau harga sumberdaya dalam persediaan yang
nantinya akan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Menurut Darusman (1991), hubungan
rent kehutanan dengan lokasi sumberdaya memiliki posisi yang paling rendah
dengan slope yang datar dan lokasi yang paling jauh dari pusat sebagaimana
ditunjukkan Gambar 3. Dengan demikian sumberdaya hutan termasuk sumberdaya yang
kurang diintervensi oleh aktivitas manusia, sehingga cenderung wilderness dan
bersifat unknown.
Gambar
3. Hubungan Rent dengan Lokasi/Jarak Sumberdaya
Berdasarkan Gambar 3 di atas,
dapat dijelaskan bahwa dengan slope
yang datar maka jarak keberadaan sumberdaya hutan tidak mempengaruhi besarnya
rent lahan (land rent). Dengan
demikian kontribusi dan nilai manfaat sumberdaya hutan dalam perekonomian akan
bersifat given, sehingga hal tersebut
tentunya bertentangan dengan kenyataan bahwa kontribusi dan manfaat hutan
multiguna dalam perekonomian. Oleh karena itu memperhitungkan kontribusi dan
manfaat lahan kehutanan yang tinggi dalam perekonomian maka slopenya akan
miring (negative) dan posisinya relative lebih dekat dengan pusat yang dapat
menggeser posisi sector lain misalnya pertanian.
Menurut Koutsoyiannis (1982),
nilai economic rent dipresentasikan
oleh besarnya pembayaran untuk factor tetap yang berlebihan yang merupakan
biaya opportunitas dari lahan. Hal tersebut mempertimbangkan lahan sebagai
factor produksi yang berlebihan meskipun tingkat produksinya tetap.
Berdasarkan sifat sumberdaya
hutan yang mempunyai cakupan yang luas atau beragam maka sumberdaya hutan
diklasifikasikan kedalam berbagai jenis berdasarkan fungsi utama, tipe hutan,
dan system silvikultur. Klasifikasi hutan menurut fungsi utama terdiri atas :
(1) Hutan produksi, yang berfungsi sebagai penghasil kayu dan hasil hutan
lainnya, (2) Hutan lindung, yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tata
air dan pemeliharaan kesuburan tanah dalam suatu wilayah, (3) Hutan suaka alam,
yang berfungsi sebagai pemeliharan dan penjaga kelestarian ekosistem bagi
kepentingan manusia generasi mendatang, (4) Hutan wisata, yang berfungsi
sebagai penyedia jasa rekreasi dan jasa wisata lainnya, dan (5) Hutan
konservasi/cadangan, yang berfungsi sebagai persesiaan bagi keperluan sector
selain kehutanan. Dalam klasifikasi ini di Indonesia terdapat Taman Nasional
yang merupakan suatu bentuk pola manajemen yang menggabungkan hutan suaka alam,
hutan wisata dan hutan lindung ke dalam system manajemen terpadu (Darusman,
1991).
Klasifikasi sumberdaya hutan
berdasarkan tipe hutan terdiri atas : (1) Hutan mangrove, (2) Hutan pantai, (3)
Hutan rawa-gambut, (4) Hutan hujan tropis dataran rendah, (5) Hutan hujan
tropis dataran tinggi, (6) Hutan musim. Klasifikasi tipe hutan tersebut muncul
atas pertimbangan kebutuhan ekosistem dan jenis pemanfaatan yang berbeda satu
dengan lainnya. Selanjutnya klasifikasi sumberdaya hutan berdasarkan system
silvikultur tersebut terbatas siperuntukkan bagi hutan produksi. Hal tersebut
perlu diperhatikan mengingat masing-masing silvikultur memiliki perwujudan
ekosistem dan produktivitas unsure-unsurnya yang berbeda bagi kepentingan
pembangunan.
Sumberdaya hutan termasuk dalam
kelompok sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable resources atau flow resources) yang diartikan sebagai
sumberdaya alam yang selalu berubah jumlahnya (Barlow, 1978). Oleh karena itu
sumberdaya hutan tersebut akan mudah diboroskan dan hilang. Dengan demikian
terkadang pemilik sumberdaya hutan bertindak sebagai speculator dengan menunda
penggunaan dengan harapan memperoleh penerimaan yang lebih tinggi di kemudian
hari. Tetapi terkadang pemilik bertindak sebaliknya yaitu ingin segera
menggunakannya sekarang Karen takut kalau di kemudian hari seumberdaya tersebut
tidak akan muncul nilainya.
Sumberdaya hutan sebagai
sumberdaya yang dapat diperbarui atau pulih dapat digunakan secara bijaksana yaitu untuk menghasilkan penerimaan (revenue) dan kepuasan ekonomi (utility) yang maksimum. Hal ini berarti
dalam pengeksploitasian sumberdaya hutan diperlukan adanya pelaksanaan
pengaturan secara lestari dan dapat memelihara dan memperbaiki kapasitas
sumberdaya tersebut untuk keperluan masa mendatang. Guna merealisasikan
eksploitasi sumberdaya hutan secara lestari, maka diperlukan cara pengolahan
secara tepat yang disertai dengan rehabilitasi atau penghijauan kembali
lahan-lahan hutan. Sehingga bila terjadi dapak negative akibat pengeksploitasian
hutan, maka dampak tersebut telah dipikirkan penangannya.
Potensi kayu (pohon) dapat
ditebang memerlukan waktu yang relative
lama untuk tumbuh, maka permasalahan ekonomi yang perlu diperhatikan adalah
waktu yang optimum bagi pelaksanaan penebangannya. Oleh karenanya perlu
diperhatikan tingkat diskonto yang akan dipakai untuk menghitung nilai sekarang
dari investasi dalam bidang sumberdaya hutan. Lebih lanjut bahwa tingkat
diskonto yang rendah akan menghasilkan nilai sekarang yang tinggi dan sebaliknya
(Suparmoko,2000).
4 Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan
Menurut Davis dan Johnson (1987),
nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap sesuatu
pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu, barang,
atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan atau
mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkannya.
Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep
dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Selanjutnya, menurut
Tietenberg (1992), nilai yang diberikan terhadap sesuatu atau komoditas, pada
dasarnya ditentukan oleh kesediaan individu membayar (willingness to pay) untuk jumlah dan kualitas dari komoditas
tertentu yang lazim diukur dengan nilai uang dalam transaksi kegiatan ekonomi
atau harga pasar. Nilai tersebut mencerminkan besarnya korbanan yang setara
dengan utilitas yang diterima. Adanya variasi tingkat kemakmuran menyebabkan
adanya perbedaan antara harga pasar dengan consumer surplus, maka total nilai
ekonomi untuk barang dan jasa sumberdaya hutan, termasuk air yang umumnya tidak
mempunyai harga pasar, sarat dengan ketidak pastian dan bersifat public goods,
adalah merupakan total willingness to pay.
Pengertian nilai ekonomi
sumberdaya hutan berdasarkan nilai kesediaan untuk membayar (willingness to pay) pada dasarnya
mempresentasikan kurva demand. Artinya, pengelola sumberdaya hutan akan
bersedia memberikan nilai atau harga atas hasil hutan yang diambilnya. Oleh
karena pada eksploitasi sumberdaya hutan akan menimbulkan kerusakan lingkungan
maka nilai willingness to pay akan semakin tinggi jika kerusakannya semakin
besar. Sementara itu masyarakat yang bersedia menanggung resiko atas kerusakan
sumberdaya hutan akan menerima nilai ekonomi (willingness to accept) yang memprestasikan kurva supply. Dengan
demikian kondisi optimum dalam pengelolaan sumberdaya hutan terjadi pada saat
nilai willingness to pay dan willingness to accept tersebut dapat
diilustrasikan sebagaimana Gambar 4.
Pengertian nilai ekonomi menurut
konsep ekonomi bahwa kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu
atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui
jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan
manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itu
terdapat dua pengertian nilai ekonomi, yaitu nilai guna dan nilai korbanan.
Nilai guna adalah nilai dari barang dan jasa berdasarkan kegunaannya yang
memiliki kualitas tertentu dalam memberi kepuasan (utility) baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai ini
tidak dipengaruhi oleh tingkat kelangkaan (supply)
maupun permintaan (demand), dan tidak
bisa diukur dengan harga pasar. Sedangkan nilai korbanan adalah nilai menurut
kemampuan barang yang diukur berdasarkan besarnya pengorbanan untuk
memperolehnya barang tersebut. Oleh karena itu nilai korbanan tersebut tidak
hanya dipengaruhi oleh utility dan kelangkaannya, tetapi juga oleh tingkat permintaan
dan harga pasar (Pindyek and Rubinfeld, 2001).
Gambar 4. Optimum Pengelolaan SDH
Berdasarkan WTP dan WTA
Nilai ekonomi merupakan salah
satu ukuran yang sering dijadikan dasar dalam analisis, namun ukuran ini sangat
relative tergantung kepada sifat barang, hubungan dengan barang lainnya, dan
orang yang menilai. Nilai yang dapat diukur umumnya hanya didasarkan pada
sebagian karakteristik yang terkait dengan keinginan atau preferensi seseorang.
Dalam hal ini kemampuan seseorang untuk menilai sangat berkaitan dengan tingkat
kemakmuran atau consumer surplus dan mekanisme kelembagaan yang mengatur
interaksi berbagai keinginan (Young, 1992).
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan
untuk menentukan nilai barang dan jasa sumberdaya hutan secara financial, yaitu
melalui pendekatan kurva demand dan non-kurva demand (Turner, et al,1994).
Pendekatan kurva demand dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan
atau consumer surplus dan mempunyai nilai positif. Sedangkan pendekatan
non-kurva demand tidak mengukur tingkat kesejahteraan namun berguna sebagai
informasi dalam pertimbangan pengambilan kebijaksanaan.
Nilai manfaat sumberdaya hutan
sangat ditentukan oleh hubungan timbal balik antara subjek penilai (manusia)
yang memiliki berbagai nilai, dengan objek yang dinilai. Nilai manfaat
sumberdaya hutan dapat dibedakan kedalam nilai guna (use-value) dan bukan nilai
guna (non-use-value) (Turner at al, 1994; Young, 1992). Jumlah nilai keduanya
merupakan total nilai ekonomi (total economic value) dari ekosistem hutan.
Nilai guna mempunyai nilai positif yang dapat dihitung berdasarkan willingness
to pay, sedang bukan nilai guna merupakan nilai yang diberikan seseorang
terhadap sesuatu karena rasa simpatik dan atau penghargaan hak (right) atas
hadirnya sesuatu yang sifatnya bukan manusia (impersonal), seperti hutan atau
kehidupan liar, sebagai komponen ekosistem yang berfungsi mendukung kehidupan.
Menurut Davids and Johnson
(1987), konsepsi nilai ekonomi sumberdaya hutan dapat dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu nilai pasar (market value), nilai kegunaan (value in use) dan
nilai social (social value). Nilai pasar dihitung berdasarkan willingness to
pay dari barang dan jasa hasil hutan. Nilai kegunaan hutan adalah nilai ekonomi
sumberdaya hutan yang dihitung berdasarkan nilai vegetasi dan sekaligus
lahannya. Nilai kegunaan tersebut dapat dihitung dengan 3 (tiga) cara yaitu:
(1) nilai vegetasi dan lahan yang digunakan sekarang ataupun masa yang akan
dating, (2) nilai jual vegetasi dan lahan pada harga pasar sekarang, dan (3)
nilai kegunaan dari masing-masing pembelinya. Sedangkan nilai social dari
sumberdaya hutan merupakann barang publik. Nilai social tersebut bersifat
komplek dan sulit untuk dikuantifikasikan. Oleh karena itu perlu adanya peraturan
perundangan dari pemerintah untuk mengatur nilai social sumberdaya hutan
tersebut.
Menurut Suparmoko (2000), nilai
ekonomi sumberdaya hutan dapat dibedakan nilai atas dasar penggunaan (instrumental value)/(use value) dan
nilai yang terkandung di dalamnya (instrinsic
value)/(non-use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan
hutan yang muncul apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau diekploitasi.
Sedangkan nilai yang terkandung Di dalam hutan adalah nilai yang melekat pada
keberadaan hutan sendiri, misalnya pengatur cuaca, pangatur mata air, penghasil
udara bersih, penyerap pencemaran udara dan sebagainya. Selanjutnya use value
dapat dipilah kembali menjadi nilai atas dasar penggunaan langsung (direct use value),nilai atas dasarpenggunaan
tidak langsung (indirect use value),
nilai atas dasar pilihan penggunaan (option
use value) dan nilai yang diwariskan (bequest
value)
Lebih lanjut menurut Pearce
(1993), nilai non use value dapat dibedakan menjadi nilai atas dasar
keberadaaanya (existence value)
dndasar warisan generasi sebelumnya (bequest
value). Sebagaigambaran embagian tersebut adalah keberadaan sumberdaya
hutan yang dilestarikan dapat memenuhi kebutuhan rekreasi dan kesempatan lain
(warisan) dan juga keberdaan hutan tersebut dapat memelihara sumberdaya hayati (biodiversity). Penilaian nilai ekonomi
tersebut dapat dilihat pada gambar 5.
5. Peran nilai ekonomi sumberdaya hutan dan
perekonomian wilayah
Nilai ekonomi sumberdaya hutan
merupakan indicator yang berpengaruh terhadap kebijakan, sikap dan tingkah laku
semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan
(Supriadi, 1997). Penilaian ekonomi bukan suatu proses akhir tetapimempunyai
peran langsung dalam pengambil kebijakan pereknomian wilayah. Disamping itu
nilai ekonomi sumberdya hutan juga berperan`dalam berbagai hal antara lain
mengidentifikasi dan membandingkan biaya hidup dengan keuntungan, sebagai
informasi mengenai efisiensi investasi baik pada sector pemerintahan maupun
swasta.
Pola interaksi antara nilai
eknomi dan kebijakasanaan ekonomi perekonomian wilayah secara hipotetik
disajikan dalam gambar 6, dalam hal ini hutan dan pengelolaannya diasumsikan
berada pada posisi suplly dan
berperan sbagai sekotor ekonomi. Produk atau output yang dihasilkan menjadi input terhadap ekonomi yang
menyebabkan; (1) berjalannya
berbagai aktivitas produksi barang dan jasa, (2) terbukanya lapangan kerja dan
(3) meningkatkan pendapatan pemerintah dan masyarakat. Daam perekonomian
wilayah, nilai tersebut diukur secara
agregat sebagai nilai tambah yang menjadi ukuran nilai kontribusi terhadap
pendapatan ekonomi wilayah (PDRB).
Gambar 5. Diagram nilai
sumberdaya hutan.
Sumber : Pearce (1993)
Supriadi (1997) menjelaskan bahwa
dalam mekanisme pasar, tingkah laku supply ditentukan oleh nilai atau harga,
kenaikan harga akan merangsang supply
bekurang. Demikian pula karakter pengelola kawasan hutan mempunyai analogi bahwa
upaya pelestarian hutan merupakan kebijakan suplly
yang dipengaruhi oleh harga atau nilai manfaat produknya, sehingga
kebijkaan alokasi dana pengelolaan hutan akan sangat dipengaruhi oleh besarnya
nilai kontribusi atau nilai tambah yang dihasilkan dari sector kehutanan
sebagai gambaran nilai atau harga dari produk hutan tersebut.
Ditinjau dari aspek ekonomi
wilayah, kehutanan berperan dalam penyediaan lapangan kerja dan pendapatan
nasional. Hal tersebut tercermin dalam struktur ekonomi kehutanan yang memiliki
lima segmen kegiatan, yaitu: (1) proses produksi primer tanaman hutan, (2)
pemanenan atau ekslpoitasi, (3) pengolahan hasil hutan, (4) peredaran atau
distribusi dan (5) konsumsi. Seliuruh segmen kegiatan tersebut menyerap tenaga
kerja yang cukup banyak (Gregory, 1972).
Sumber : Supriadi (1997)
Gambar 6.
Diagram peran sumberdaya hutan dalam perekonomian wilayah
2.6. metode penilaian ekonomi sumberdaya hutan
Penilaian atau
valuasi ekonomi sumberdaya hutan dilaksanakn dengan melakukan identifikasi
kondisi bio fisik sumberdaya hutan dan social budaya masyarakat setempat.
Valuasi ditujukan untuk mengkuantifikasi setiap indicator berupa hasil hutan, jasa fungsi ekosistem
hutan serta atribut hutan dalam kaitannya dengan indicator social budaya
setempat (Davis & Jhonson, 1987). Lebih lanjut Davis dan jhonson (1987)
menyatakan bahwa pada prinsipnya metode valuasi sumberdaya hutan dapat
dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan
ketersediaan membayar (WTP).
Kesediaan untuk
membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai alternative teknik
valuasi ekonomi sumberdaya hutan. Dalam
kondisi pasar tidak mengalami penyimpangan, maka WTP akan sama dengan harga
pasar. Namun pada saat terjadi distorsi mekanisme pasar atau kegagaan pasar,
maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP
(Conrad, 1999; Hufscmidt, 1983; dan Timothy, 2003).
Metode yang
didasarkan pada pendekatan harga pasar terdiri atas dua metode, yaitu metode
manfaat social bersih (net social benefit
method) dan harga pasar (market price
method). Sedangkan metode berdasarkan kesediaan untuk membayar terdapat
beberpa alternative berdasarkan karakteristik manfaat sumberdaya tersebut
(Bahruni, 1999; Davis dan jhonson, 1987) seperti yang terlihat pada table 1.
Tabel 1. Klasifikasi nilai dan
metode valuasi sumberdaya hutan
No
|
Klasifikasi Nilai
|
Metode valuasi
|
1
|
Nilai guna (use value) dan nilai pilihan/ masa
depan (option value)
|
1. Manfaat social bersih (net social benefit)
2. Metode harga pasar (market price methods)
3. Harga pengganti (surrogate prices)
4. Nilai sebagai factor produksi (value in
production)
5. Biaya perjalanan (travel cost method)
6. Valuasi kontingensi (contingent valuation)
|
2
|
Nilai keberadaan (exixtence value)
|
1. Metode perlindungan asset (protection of
asset)
*biaya
penggantian (cost of replacement)
*biaya
rehabilitasi (cost of rehabilitation)
*Nilai
kehilangan produksi(cost of lost production)
2. hedonic pricing
3. nilai sebagai factor produksi (value in
production)
4. harga pengganti (surrogare prices)
5. penilaian kontingensi (contingent valuation)
|
Para ahli
ekonomi dewasa ini mengembangakan berbagai teknik dan metode valuasi dn
perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkunganna pada kondisi pasar
tidak sempurna. Hufschmidt (1983) menyimpulkan bahwa metode atau teknik valuasi
ekonomi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Teknik
valuasi yang berdasarkan pada harga pasar atau produktivitas seperti perubahan
nilai produk dan hilangnya penghasilan yangberasal dari manfaat sumberdaya
hutan
2.
Teknik
valuasi yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi input/ subsitusi
seperti biaya penggantian,biaya produk bayangan, analisis biaya pengeluaran dan
biaya pencegahan.
3.
Valuasi
dengan pendekatan survey yaitu mnanyakan besarnya WTP konsumen terhadap barang
dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar hipotesis. Teknik meliputi, teknik
valuasi Delpi, permainan alih tukar, pilihan tanpa baiay, teknik valuasi
prioritas.
Beberapa teknik
atau metode valuasi ekonomi yang dapat diaplikasikan untuk menilai sumberdaya
hutan menurut Dixxon dan Sherman (1990). Sanim (203.a) dan Champ et al (2003)
antara lain;
1.
Metode berbasis pasar actual (actual market based methods)
Metode ini menggunakan harga pasar actual sebagai harga yang dianggap
mendekati nilai barang (kayu, rotan, getah dan sebagainya) dan jasa lingkungan
yang dihasilkan oleh kawasan hutan seperti air. Suatu teknik yang sederhana
untuk menentukan nilai barang dan jasa hasil hutan tersebut adalah sengan cara
membandingan dengan harga yang dijual di pasar setempat. Yamng termasuk metode
ini antara lain:
a.
Perubahan dalam
produktivitas (change in productivity)
Valuasi ekonomi sumberdaya hutan juga dapat
dilakukan dengan melihat pemanfaatan air sebagai input proses produksi industry
atau pertanian. Kawasan hutan menjamin kelangsungan industry atau pertanian
yangbertumpu pada sumberdaya hutan. Sehingga, jika kawasan hutan dirusak maka
akan menyebabkan jumlah produksi menurun sehingga terdapat jumlah produksi yang
hilag. Harga dari jumlah produksi yang hilang tersebut merefleksikan nilai
ekonomi dari sumberdaya hutan terhadap penurunan produksi perikanan, pertanian
dan perkebunan yang berada di sekitar hutan
b.
Kehilangan
penghasilan. (loss of earning)
Kawasan hutan terutama kawasan konservasi
memberikan jasa ekologis yang berupa kontribusi udara bersih untuk kepentingan
manuasia. Jika jasa ekologis tersebut hilang maka kemampuan manusia untuk
memproduski sesuatu akan menurun sehingga akan terjadi kehilangan pendapatan.
2.
Metode berbasi biaya (cost based methods)
Penghitungan nilai ekonomi berdasarkan opportunity cost dari kawasan
dengan menghitung biaya/kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat hilangnya
akses pemanfaatan sumberdaya hutan. Biaya/ kerugian yang dikeluarkan untuk
mempertahankan barang dan jasa yang diberikan oleh kawasn hutan tersebut
anatara lain:
a.
Biaya
penggantian (replacement cost)
Sumberdaya hutan berfungsi mempertahankan
kualitas lahan dan produktivitasnya. Apabila terjadi deforestasi maka ia akan
meningkatkan erosi tanah dan menutunnya produktivitas lahan. Untuk meningkatkan
produktivitas lahan tersebut dapat diganti dengan melakukan pemupukan. Biaya
yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk merupakan nilai ekonomi dari kawsan
hutan
b. Biaya kesempatan (opportunity cost)
Biaya kesempatan direpsentasikan oleh nilai
ekonomi kawasan hutan yang dapat diketahui melalui nilai bersih skarang (net
present value NPV) dari berbgai alternative penggunaan lahan. Dalam hal ini
nilai NPV dari kawsan hutan dihitung berdasarkan kuantifikasi manfaat ekonomi
penggunaan lahan dan biaya pengelolaannya.
c.
Biaya
preventif (preventive cost)
Keberadaan kawasan hutan dapat menghindari
kerugian masyarakat. Dalam hal ini dapat dilustrasikan dengan fungsi keutuhan
kawsan hutan bagi pengendalian banjir didaerah sekitarnya. Apabila penebangan
hutan dilakukan, maka masyarakat dan pemerintah harus mengeluarkan biaya
penanggulangan banjir tersebut. Biay tersebut merupakan nilai ekonomi hutan
3.
Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based methods)
Metode valuasi sumberdaya hutan yang berbasis mewakili pasar
diukur berdasarkan keberadaannya dalam mempengaruhi harga pasar. Yang termasuk
dalam metode ini antara lain:
a.
Teknik Biaya Perjalanan (Travel
Cost)
Penerapan
teknik biaya perjalanan biasanya untuk menentukan nilai jasa rekreasi dari
kawasan hutan dengan melihat kesediaan membayar (Willingness to pay) oleh
wisatawan atau pengunjung. Oleh karena itu besarnya biaya tersebut di tunjukkan
oleh kesediaan membayar harga tiket masuk kawasan, biaya transportasi menuju
lokasi, dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan oleh pengunjung.
b.
Teknik Harga Hedonik (Hedonic
Pricing Techniques)
Teknik
hedonic dilakukan melalui suatu penilaian jasa lingkungan, yang keberadaannya
mempengaruhi harga pasar barang tertentu. Sebagai contoh nilai kualitas
lingkungan yang mempengaruhi harga rumah tinggal. Lingkungan perumahan yang
bersih, sehat dan nyaman, maka nilai lingkungannya akan relatif besar sehingga
harga jual rumah tersebut menjadi meningkat.
c.
Teknik Proksi Substitusi (Substitution
Proxy Techniques)
Teknik
proksi substitusi dilakukan untuk mengukur nilai variabel sumber daya hutan
dengan proksi variabel lain baik dari sektor
kehutanan ataupun sektor lain. Sebagai contoh nilai air di proksi dari
nilai produksi padi yang prosesnya menggunakan air.
d.
Teknik Diferensiasi Gaji ( Wage
Differencial Techniques)
Teknik
ini dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya hutan dengan cara
menghitung diferenasi gaji atau upah pekerja pada kegiatan pengelolaan kawasan
hutan.
4. Metode Berbasis Pasar
Kontingensi (Contigent Market-Based
Methods)
Penerapan Metode ini dilakukan jika tidak ada pasar yang relevan
terhadap barang dan jasa lingkungan kawasan hutan. Kepada individu-individu
secara langsung ditanyakan tentang kesediaan mereka membayar untuk barang dan
jasa yang diperoleh dari sumberdaya hutan atau kesediaan mereka menerima
kompensasi jika barang dan jasa sumberdaya hutan tersebut tidak boleh mereka
manfaatkan lagi.
Lebih lanjut Sanim (2003a) menjelaskan
dua pendekatan untuk melakukan valuasi sumberdaya alam (termasuk hutan) yaitu :
a. Pendekatan Kurva Permintaan
Pendekatan kurva
permintaan didasarkan pada Wilingness to
pay (WTP) sumberdaya alam tersebut. Pendekatan ini dapat dibedakan menjadi
dua tipe yaitu :
1.
Permintaan diturunkan dari
pernyataan preferensi, yaitu individu untuk barang sumberdaya alam atau
lingkungan diperoleh dari survey dengan menggunakan kuesioner.
2.
Permintaan yang terungkap dari
menganalisis pembelian barang tertentu dipasar yang memungkinkan dapat
dinikmati jasa lingkungan tertentu secara bersamaan.
b. Pendekatan Tidak Mendasar
Kurva Permintaan
Pendekatan
ini tidak memberikan penilaian ekonomi yang sejati, tetapi tetap sangat berguna
dalam aplikasi valuasi sumberdaya alam.
Pendekatan
ini terdiri atas:
1.
Metode dosis-respon, yaitu
menentukan data yang menghubungkan antara respon manuasi ataupun bukan manusia
dengan berbagai tingkat pencemaran lingkungan.
2. Metode biaya pengganti yaitu mengestimasi biaya untuk menggantikan atau
memulihkan asset lingkungan yang terdegradasi sehingga hilang jasa-jasanya.
Estimasi biaya tersebut digunakan mengukur manfaat restorasi.
3. Metode Mitigasi (menghindar), yaitu mengukur besarnya biaya untuk
menghindari pengaruh pencemaran.
4. Metode biaya kesempatan (opportunity
cost) yaitu melakukan penilaian
manfaat lingkungan dengan menentukan nilai benchmark tertentu. Sebagai contoh
biaya untuk melakukan konversi wetland menjadi
lahan pertanian intensif sebagai nilai benchmark,
maka jika biaya konvensi tersebut kurang dari benchmark maka dapat
dikatakan tidak bermanfaat.
2.7. Hasil – hasil Studi Nilai
Ekonomi Sumberdaya Hutan
Pada
kondisi umum nilai ekonomi sumberdaya
hutan produksi dengan pendekatan biaya kegiatan pengelolaan hutan sebelum
dikenakan pungutan Rp. 434 454/m3 untuk hutan rawa, dan sebesar Rp. 688 714/m3
untuk hutan bukit. Adapun struktur biaya pengelolaan rata-rata belum memasukan
pungutan tersebut adalah : perencanaan 3%, pemanenan hasil hutan (termasuk jalan
ranting, sarad, dan pemeliharaan jalan) 42%, pembinaan hutan (termasuk penanaman tanah
kosong, kiri kanan jalan) 9%, kelola lingkungan
dan social 2%, penyusutan sarana dan prasarana 31%, umum dan administrasi 13% (Bahruni, 2003).
Sementara itu manfaat tidak langsung (Indirect Use Values) dari kawasan konservasi terpadu Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango sebagai penyedia air yang nilai ekonominya sebesar Rp. 4
341 miliar per tahun atau Rp. 280 juta per hektar. Nilai ekonomi tersebut
didasarkan pada kesediaan masyarakat membayar agar air tetap secara teratur
mendukung penyediaan air minum, sanitasi, dan pertanian (Darusman, 1993).
Sedangkan menurut Kramer et al dalam
Effendi (2001), nilai manfaat perlindungan air secara ekologis dari hutan
lindung di Ruteng Pulau Flores sebesar US$ 35 per kepala rumah tangga per tahun.
Nilai ekonomi jasa rekreasi
kawasan konservasi dengan fungsi cagar biosfer Pulau Siberut Sumatera Barat
yang diukur berdasarkan kesediaan wisatawan membayar (willingness to pay)
sebesar US$ 23 per kunjungan. Pembayaran jasa rekreasi tersebut untuk membayar
tiket guna mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan tradisional. Dukungan
biaya dari pembayaran tiket masuk kawasan konservasi tersebut cukup besar dalam
melaksanakan upaya-upaya pelestarian hutan (Tim Universitas Duke dalam Effendi
(2001).
Beberapa studi valuasi ekonomi
sumberdaya hutan secara lebih rinci dari 1992 sampai dengan sekarang dapat
dilihat pada Tabel 2. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada umumnya
masih bersifat parsial, misalnya terbatas manfaat air hutan lindung, jasa
wisata hutan wisata, nilai kayu, dan sebaginya. Sehingga jika dikaitkan dengan
perekonomian wilayah maka penelitian-penelitian tersebut belum dapat
diaplikasikan secara tepat.
Tabel 2. Beberapa Studi Penilaian Ekonomi
Sumberdaya Lingkungan Di Indonesia
Tahun
|
Lokasi
|
Peneliti Utama
|
Metode
|
Hasil
|
1992
|
Wilayah Hutan Negara di Jateng
|
Tatuh
|
Pendekatan Perilaku dan dependensi dengan model logit
|
Jumlah masyarakat didalam dan disekitar hutan yang mengambil hasil hutan
berupa :
-
Kayu Bakar = 82.5%
- Makanan Ternak = 66.9%
|
1992
|
Wilayah Hutan Tropis Indonesia
|
Sutopo
|
Pendekatan Positive Economics
dengan model Quasi-Rent
|
Nilai sewa (Rent) Ekonomis Hutan Tropis Indonesia Rp. 104 336 /m3 dimana
Pemerintah menerima 34% (Rp. 35 343 /m3 dan Pengusaha menerima 66% (Rp. 68
902 /m3)
|
1992
|
Teluk Bintuni, Papua
|
Ruitenbeek *)
|
Harga bayangan, pendekatan produksi
|
Nilai ekonomi total dari produksi local yang dapat dan tidak dapat
dipasarkan masing-masing sebesar Rp. 5.1 jita dan 9 juta per tahun per kepala
rumah tangga
|
1993
|
TN. Gunung Gede Pangrango
|
Darusman
|
Model Input output
|
Nilai manfaat air yang diberikan TNGP sebesar Rp. 4.31 miliar/tahun atau
sekitar Rp. 28 juta / ha/tahun kepada masyarakat sekitar
|
1993
|
Taman Nasional & Hutan Wisata di Pulau Jawa
|
Bahruni
|
Metode Biaya Perjanan
|
Willingness to pay untuk jasa rekreasi hutan wisata dan taman nasional di
Pulau Jawa berkisar Rp. 1.5 – 9.6 juta/ha/tahun, dan khusus Jawa Tengah (HW.
Grojokan Sewu) adalah tertinggi yaitu Rp. 9.6 juta/ha/tahun
|
1995
|
TN Gunung Gede Pangrango
|
Susmiato
|
Pendekatan Pengeluaran
|
Rekreasi mempengaruhi 13 sektor ekonomi dengan total pengeluaran sebesar
Rp 471 juta dari output atau penjualan, Rp. 80 juta dari pendapatan dan 155
orang pekerja
|
1996
|
TN Bukit Baka-Bukit Raya, Kalteng & Kalbar
|
Saunder *)
|
Contingent Valuation
|
Nilai Perlindungan diperkirakan sebesar Rp. 10 miliar per tahun
|
1996
|
Sungai Ciliwung, Jakarta
|
Saunder *)
|
Contingent Valuation
|
Manfaat ekonomi dari membaiknya kualitas air sungai ciliwung diperkirakan
sebesar US$ 30 juta per tahun
|
1997
|
Siberut Ruteng
|
Kramer *)
|
Pendekatan Produktivitas, biaya perjalanan dan contingent Valuation
|
Kesediaan membayar untuk mendukung konservasi lingkungan dan kebudayaan
tradisional pulau Siberut sebesar US$ 23.Manfaat ekonomi perlindungan air di
Ruteng, Flores sebesar US$ 35 per kepala rumah tangga per tahun
|
1997
|
Hutan Lindung DAS Citarum Hulu
|
Supriyadi
|
Model Input-output
|
Nilai total air dari hutan lindung dan hutan produksi seluas 76 273.19 ha
pada jumlah penduduk Kabupaten 3.3 juta jiwa adalah sebesar Rp. 54.5 milyar.
Konstribusi sektor hutan lindung terhadap total produk domestic regional
bruto (PDRB) 0.48% diwilayah ekonomi
Kabupaten Bandung.
|
Tabel 2 Lanjutan
Tahun
|
Lokasi
|
Peneliti Utama
|
Metode
|
Hasil
|
1998
|
Kebakaran Hutan
|
WWF/EEPSEA *)
|
Produktivitas, keseharan, pengeluaran dan benefit transfer
|
Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan sebesar US$ 4.5 miliar
|
1998
|
TN Gunung Leuser
|
Elfian/WWF dan CIFOR *)
|
Pendekatan produktivitas dan pengeluaran
|
Nilai ekonomi air untuk irigasi, industry, dan kebutuhan sehari-hari
diperkirakan bernilai sebesar U$ 4.3 juta per tahun
|
1999
|
Kepulauan Togean, Sulteng
|
Cannon *)
|
Pendekatan produktivitas dan pengeluaran
|
Dengan tingkat diskon 5 % selama 25 tahun, NPV dari ekowisata Rp. 5.3
miliar dan kehutanan Rp. 4.1 miliar
|
2001
|
Provinsi Jambi Kalimantan Tengah
|
Fahutan IPB dan Dephut
|
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
|
Nilai ekonomi total hutan lahan Kering :
Di Jambi : Rp. 199.4 juta/ha/tahun
Di Kalteng : Rp. 124.3 juta/ha/tahun
Nilai Ekonomi total hutan lahan basah :
Di Jambi : Rp. 150.3 juta/ha/tahun
Di Kalteng : Rp. 115. 1 juta/ha/tahun
|
2002
|
Kabupaten Blora Jawa Tengah
|
Yulianto
|
Model Spacial AutoRegressive (SAR)
|
Frekuansi rata-rata illegal logging selama 1997-2002 sebanyak 9.807
kasus/tahun, dengan kerugian sebesar Rp. 12.1 milyar/tahun. Nilai kerugian
akibat deforestasi sebesar Rp.2.1 milyar/tahun
|
2004
|
Hutan Mangrove di Sulawesi Tenggara
|
Alfian
|
Nilai Ekonomi Total dan analisis biaya manfaat
|
Nilai ekonomi total hutan mangrove sebesar Rp. 8 315 / ha/tahun
|
2004
|
Wilayah DAS Citanduy Kabupaten Ciamis dan Tasik malaya
|
Kirsfianti
|
Pendekatan penjumlahan pada
Agroforestry
|
Produksi dari Agroforesty
sebanyak pada kisaran 19.2 – 85.7 ton/ha/tahun dengan rata-rata 41.6
ton/ha/tahun
|
2004
|
Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat
|
Widada
|
Nilai Ekonomi total dan analisis biaya manfaat
|
Nilai ekonomi total (NET) TNGH adalah sebesar Rp. 439.75 milyar per
tahun, terdiri dari nilai penyerapan karbon Rp. 429.77 milyar (97.73%), nilai
ekowisata Rp. 1.27 milyar (0.29%, nilai air (domestik dan pertanian) Rp. 6.64
milyar (1.51%) , nilai pelestarian Rp.0.67
milyar (0.15%), nilai pilihan Rp. 0.76 milyar (0.17%), dan nilai keberadaan
sebesar Rp. 0.64 milyar (0.15%).
|
Keterangan : *)
sumber Effendi (2001)
2.8
Konsep Kelembagaan
Pengertian umum kelembagaan merupakan suatu
sistem yang kompeks, rumit
dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adatistiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari
lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran sangat penting dalam memecahkan
masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia
untuk mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu hal yang
dicirikan adanya property right (hak kepemilikan), aturan representative atau
batas yuridiksi. Lebih lanjut kelembagaan dapat menjadi pengubah eksogen dalam
proses pembangunan, dengan demikian kelembagaan menyebabkan perubahan. Di pihak
lain kelembagaan dapat menjadi peubah endogen, sehingga kelembagaan merupakan
akibat dari perubahan pada sistem
peubah lain (Pakpahan, 1989).
Menurut Schmid (1987), terdapat dua jenis
pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai aturan main yang mengatur
hubungan antara individu yang didefinisikan haknya dan tanggung jawabnya.
Sedangkan kelembagaan sebagai sistem organisasi merupakan gugus kesempatan bagi
individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
Kelembagaan dibangun dengan 3 (tiga)
komponen utama yaitu : (1) Karakteristik sumberdaya, (2) stuktur hak-hak (property right) dan (3) performa.
Berdasarkan asumsi interdefendensi antara pelaku-pelaku ekonomi, maka proses
determinasi performa merupakan resultante dari interaksi karakteristik
sumberdaya dengan struktur hak-hak. Karakteristik sumberdaya akan menentukan
sifat interdefendensi antar pelaku ekonomi yaitu menentukan arah dan derajat
efek yang timbul dari tindakan satu pihak kepada pihak lain. Sedangkan struktur
hak-hak akan menentukan distribusi biaya manfaat. Pola distribusi hak dan
kewajiban ditanggapi oleh setiap individu menurut perilakunya, sehingga akan
menentukan performa. Struktur hak-hak dikendalikan oleh pilihan public sebagai
suatu bentuk implementasi kekuasaan melalui makanisme transaksi (Schmid, 1987).
Konsep property
right mengandung makna social, yaitu bahwasannya. Hak (Right) dan kewajiban (obligations)
yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus anggota masyarakat dalam hal kepentingannya
terhadap sumberdaya karena itu
pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia berada.
Implikasi dari hal ini adalah (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan
(2) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (ownership)
adalah sumber kekuatan kontrol terhadap sumberdaya. Hak dapat diperoleh melalui
pembelian apabila barang atau jasa tersebut dapat diperjualbelikan, diberikan
atau hadian, dan diatur oleh administrasi pihak yang berwenang.
Tietenberg (1994) menyatakan bahwa struktur
hak kepemilikan yang dapat menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien
mempunyai empat karakteristik, yaitu :
1.
Universality, seluruh sumberdaya (Asset) dimiliki secara
individu dan seluruh hak-hak atas penggunaaan sumberdaya tersebut didefinisikan
dengan jelas.
2.
Exclusivity, seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat
yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya tersebut harus ditanggung/ dinikmati
hanya oleh pemiliknya.
3.
Transferability, hak kepemilikan harus dapat dipindah tangankan
dari pemilik yang satu kepemilik yang lain dengan sukarela.
4.
Enforceability, hak kepemilikan harus aman dari kemungkinan
adanya gangguan pihak lain.
Menurut, Turner, at
al (1994), bentuk kepemilikan secara umum dibagi menjadi empat jenis yaitu :
1.
Hak milik yang berisfat umum (common property), yaitu hak yang
dipandang dari segi ekonomi bukan merupakan hak milik karena barang yang
dimilki secara umum merupakan barang yang dapat dipergunakan oleh setiap orang
untuk berbagai keperluan tanpa adanya biaya yang dikeluarkan, misalnya udara,
air, sungai dan lain-lain.
2.
Hak milik umum yang terbatas (restricted common property), yaitu
asset masyarakat dikelola oleh suatu badan public atau pemerintah. Pemerintah
dapat membatasi penggunaan hak milik dengan berbagai cara yang dikehendakinya.
3.
Hak pakai (status-tenure), yaitu pemakai asset dibatasi hanya untuk
orang-orang atau badan-badan tertentu yang ditetapkan berdasarkan hukum. Dengan
demikian kepemilikan menjamin pemakaian asset sesuai kewenangan atas
kepemilikan tersebut. Hak pakai dapat dipindah-tangankan.
4.
Hak milik penuh (private property right) , yaitu hak
milik dapat dipindahkan dan pemindahan suatu asset mengarah pada terbentuknya
harga yang sebenarnya. Sesuatu yang dimiliki dapat dihargai dan sesuatu yang
berharga dapat dimiliki tetapi hubungan fungsional antara harga dan hak milik
sulit ditentukan secara tepat. Walaupun hak milik ini merupakan dasar konsepsi
pemilikan dalam masyarakat, namun hak milik tersebut perlu dibatasi guna
mencegah munculnya kesenjangan sosial.
Lebih lanjut menurut Pakpahan
(1989), konsep batas yurisdiksi kelembagaan akan menentukan siapa dan apa yang
tercakup dalam suatu kelembagaan dalam suatu masyarakat. Konsep batas
yurisdiksidapat berarti wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki
suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duannya. Keefektifan dari batas
yurisdiksi terhadap kinerja ditentukan oleh empat hal, yaitu : (1) perasaan
sebagai suatu masyarakat (sense of
community), (2) eksternalitas,
(3) homogenitas dan (4) skala usaha.
Perasaan sebagai suatu masyarakat
merupakan variabel psikologi penting yang sering diabaikan dalam analisis
ekonomi. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki satu
hubungan dengan yang lainny. Sense of
community ini menentukan siapa yang termasuk dalam suatu masyarakat dan
siapa yang tidak. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial (social distance) yang akan menetukan kadar komitmen yang
dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu
kebijaksanaan.
Homogenitas preferensi masyarakat
dalam kaitannya dengan konsumsi atas barang dan jasa yang dikonsumsi secara
kolektif berkaitan dengan siapa yang memutuskan jawaban atas pemanfaatan barang
dan jasa . adanya homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat
yang memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi pengambilan keputusan.
Aturan representative merupakan
perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi.
Dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi, terdapat dua jenis biaya
yang mendasari keputusan. Yaitu : (1) biaya membuat keputusan sebagai produk
dan partisipasi dalam membuat keputusan dan (2) biaya eksternal yang ditanggung
oleh seseorang atau sebuh organisasi sebagai akibat keputusan organisasi
tersebut. Aturan representatif akan mempengaruhi struktur yang besarnya biaya
tersebut. Aturan pengambilan keputusan yang sederhana untuk masalah ini dalah
meminimumkan kedua biaya. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak
berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan.
2.9 Kelembagaan Sektor Kehutanan
Implikasi
dari konsep kelembagaan pada pengelolaan sumberdaya hutan adalah pengendalian
terhadap interaksi berbagai kepentingan mengatur hak dan kewajiban “apa dan
siapa” dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pada perekonomian suatu wilayah.
Pengaturan hak dan kewajiban tersebut akan melibatkan semua pelaku ekonomi
yaitu pemerintah, masyarakat dan pihak swasta / pengusaha (Supriadi, 1997).
Dalam
ruang lingkup property right, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 bahwa hutan adalah milik Negara yang dimanfaatknan sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan masyarakat. Penanggungjawab pengelolaan hutan adalah
pemerintah yang dapat dilakukan lembaga atau badan hukum (BUMN, Swasta, Koperasi),
kelompok masyarakat ataupun perorangan. Demikian pula sesuai dengan cirri batas
yurisdiksi kelembagaan maka batas bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan areal
hutan dan hasil hutan dapat dijadikan sebagai cara untuk melestarikan
sumberdaya hutan.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 yang telah diperbaharui dengan
beberapa Peraturan Pemerintah dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2003, bahwa pengelolaan hutan (produksi dan lindung) di Pulau Jawa
ditangani oleh Perum Perhutani. Sementara itu urusan sektor kehutanan di daerah
yang menyangkut pengelolaan daerah aliran sungai ditangani oleh Lembaga Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan yang bernama Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (BPDAS) . dan, Pengelolaan kawasan hutan konservasi
ditangani oleh UPT yang bernama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Sedangkan pelaksana urusan sector kehutanan yang didesentralisasikan ataupun
dekonsentrasi dan pembantuan adalah Dinas Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang
menangani urusan sektor kehutanan tersebut.
Post a Comment
Post a Comment