August 2014



1) CARA KERJA

A.  Tahap Pengumpulan dan Penyiapan Sampel (Preparasi Sampel)
Sampel yang sudah didapat kemudian dibersihkan, ditimbang seberat 1 kg atau lebih dan dipotong kecil-kecil. Biasanya sampel yang telah kering digiling sampai menjadi serbuk halus yang siap diekstraksi. Hal ini dilakukan agar saat perlakuan sampel lebih mudah dalam ekstraksi maserasi nantinya dan dapat mempercepat proses ekstraksi lalu dikeringkan di udara terbuka. Setelah dikeringkan, ditimbang untuk mengetahui berat keringnya kemudian dilakukan meserasi. Penimbangan terhadap sampel dilakukan untuk mengetahui jumlah atau berat sampel yang dihasilkan dari berat awal dan dapat digunakan pula sebagai pertimbangan dalam pengujian-pengujian selanjutnya.


B.  Ekstraksi Maserasi
Ekstraksi meserasi ini adalah pengambilan senyawa zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk atau potongan-potongan sampel dalam pelarut yang sesuai yaitu methanol. Sampel dimaserasi (direndam) sampai semua bagian dari sampel harus tenggelam dengan pelarut methanol selama 24 jam dengan pengocokan sesekali yang bertujuan untuk mempercepat kontak antara sampel dengan pelarut sebelum di ekstrak dengan rotary evaporator. Penggunaan pelarut methanol ini dilakukan karena methanol merupakan universal dan mampu mengikat kandungan senyawa zat aktif yang terdapat pada sampel dengan baik. Pelarut methanol akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut methanol dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan pengocokan sesekali. Sampel yang telah dimaserasi ini disaring dengan kertas saring sehingga didapatkan filtratnya. Filtrat disimpan dalam labu takar 1000 ml untuk kemudian diekstrak kasar. Apabila belum diekstrak kasar pada saat yang sama, filtrat disimpan dalam inkubator 10oC, agar tidak mengalami perubahan kimiawi.


C.  Proses Ekstraksi dengan Rotary Evaporator

Sampel hasil ekstraksi maserasi yang diperoleh dipisahkan pelarutnya menggunakan vacum rotary evaporator dengan suhu 40-600C atau tergantung pada ekstrak sampel yang ingin diambil. Digunakannya suhu 40-600C bertujuan untuk mempercepat dan mempermudah dalam pemisahan pelarutnya yaitu methanol. Vacum dalam rotary evaporator berfungsi untuk mempermudah proses penguapan pelarut dengan memperkecil tekanan dalam vacum dari pada di luar ruangan, sehingga temperatur di bawah ttik didih pelarut dapat menguap. Filter yang diperoleh berwarna agak pekat. Warna pekat ini terbentuk karena pelarut yang digunakan tidak hanya mengekstrak satu senyawa saja, melainkan juga mengekstrak senyawa-senyawa lainnya yang terdapat pada sampel tersebut yang memiliki sifat polar, karena pelarutnya adalah methanol yang bersifar polar. Pada rotary evaporator ini akan menghasilkan ekstraksi dalam bentuk seperti gel yang nantinya akan diuji kembali untuk menentukan kandungan zat senyawa aktif apa saja yang ada dalam sampel tersebut. Timbang hasil ekstraksi untuk mengetahui berat sampel yang dihasilkan dari berat awal.



2)  PRINSIP KERJA 

Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas pada suhu di bawah titik didihnya, sehingga zat yang terkandung di dalam pelarut tidak rusak oleh suhu yang tinggi., serta adanya kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask).
Pertama cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar dengan suhu sekitar 40-600atau tergantung pada ekstrak sampel yang ingin diambil. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask).Setelah pelarutnya diuapkan, akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan (solid) atau cairan (liquid).
Sedangkan, ekstraksi soxhlet merupakan perendaman sampel secara kontinyu dimana pelarut etil asetat dalam labu alas bulat dipanaskan sehingga menghasilkan uap. Uap tersebut kemudian masuk ke kondensor melalui pipa kecil dan keluar dalam fasa cair. Kemudian pelarut masuk ke dalam selongsong berisi sampel. Pelarut akan membasahi sampel dan tertahan di dalam selongsong sampai tinggi pelarut dalam pipa sifon sama dengan tinggi pelarut di selongsong. Kemudian pelarut seluruhnya akan masuk kembali ke dalam labu alas bulat dan begitu seterusnya sampai pelarut dalam pipa sifon berwarna jernih.
Proses pemisahan dengan metode soxhletasi memiliki kelebihan, yaitu pelarut yang digunakan masih utuh, dapat digunakan untuk pemisahan bahan lain. Dikatakan masih utuh karena pada penguapan dengan rotary evaporator hasil yang diperoleh tadi memisahkan pelarut yang ada dalam filtrate. Dan dapat melarutkan bahan yang lebih banyak karena pemanasan. Tetapi metode ini kurang efektif, karena harga pelarut mahal dan lemak yang diperoleh harus dipisahkan dari pelarutnya denagn cara diuapkan. Alasan dari pemisahan pelarut dari ekstraknya adalah agar dihasilkan zat-zat terlarut sebagai ekstrak pekat dan pelarutnya dapat digunakan kembali.

Faktor  yang  paling  menentukan  dari  keberhasilan  selama  proses  ekstraksi  adalah penggunaan  pelarut  yang  tepat.  Pelarut  yang  ideal  harus  mempunyai  syarat  sebagai berikut : 
  1. Pelarut  dapat  melarutkan  semua  komponen  dalam  bahan  dengan  cepat  dan  sempurna dan sedikit mungkin melarutkan bahan seperti lilin, pigmen, senyawa albumin, dengan kata lain pelarut harus bersifat selektif. 
  2. Pelarut mempunyai titik didih yang cukup rendah agar mudah diuapkan kembali tanpa menggunakan suhu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah karena akan mengakibatkan hilangnya sebagian pelarut saat diuapkan. 
  3. Pelarut tidak dapat larut dalam air.
  4. Pelarut haruslah bersifat  inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen minyak.
  5. Pelarut mempunyai titik didih yang seragam, dan jika diuapkan tidak akan tertinggal di dalam minyak setelah proses penguapan sehingga mempengaruhi aroma minyak yang dihasilkan. 
Ekstraksi sampel dilakukan dengan rotary evaporator karena kecepatan alat ini dalam melakukan evaporasi sangat cepat, terutama bila dibantu oleh vakum. Terjadinya bumping dan pembentukan busa juga dapat dihindari. Kelebihan lainnya dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan.



3)  HASIL 
Pada rotary evaporator ini akan menghasilkan ekstraksi dalam bentuk seperti gel yang nantinya akan diuji kembali untuk menentukan kandungan zat senyawa aktif apa saja yang ada dalam sampel tersebut. Hasil ekstraksi yang diperoleh bukan dalam bentuk gel tetapi dalam mentuk masih cair. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
  • Waktu perlakuan ekstraksi yang kurang lama
  • Persiapan atau preservasi sampel yang salah
  • Daya atau tekanan pada kondensor yang kurang tinggi atau kuat
  • Adanya kebocoran pada salah satu katub yang ada pada rotary evaporator
  • Pengaturan suhu yang tidak sesuai
  • Jenis, kualitas dan kuantitas pelarut yang tidak sesuai






Waktu ekstraksi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap keberhasilan ekstraksi yang dilakukan. Semakin lama waktu ekstraksi akan memberikan kesempatan lebih besar bagi pelarut untuk berinteraksi dengan senyawa yang akan diekstrak sehingga hasilnya juga bertambah sampai titik jenuh larutan. Perbandingan jumlah pelarut dengan jumlah bahan berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi, jumlah pelarut yang berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak, namun dalam jumlah tertentu pelarut dapat bekerja optimal. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini dapat mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan. Penggunaan suhu 50°C menghasilkan ekstrak yang optimum dibandingkan suhu 40°C dan 60°C (Voight, 1994).

Pemilihan pelarut juga memberikan kontribusi terhadap ekstrak yang didapatkan sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut (Guenther, 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat melarutkan senyawa yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Bernasconi, 1995).

Optimasi terhadap metode ekstraksi perlu dilakukan tetapi hal yang tidak kalah penting adalah pemilihan metode ekstraksi yang digunakan. Pemilihan metode ekstraksi harus didasarkan pada sifat dari material dan senyawa yang akan diekstraksi (Sarker et al., 2006).


A. Kompetensi 
  1. Melakukan identifikasi sifat-sifat fisik hasil reaksi antara asetofenon dan benzaldehida
  2. Menghitung rendemen reaksi Claisen Scmidth antara asetofenon dan benzaldehida
  3. Memiliki kecakapan untuk mensintesis senyawa kalkon


B. Tugas sebelum praktikum
  1. Tentukan sifat-sifat fisik dan fungsi bahan-bahan yang akan digunakan dalam praktikum.
  2. Gambarkan rangkaian alat yang akan digunakan
  3. Tuliskan reaksi kimia yang terjadi antara benzaldehida dan asetofenon
  4. Tentukan jumlah masing-masing bahan yang akan digunakan jika diinginkan hasil sebanyak 6,3 gram
  5. Bahan apa yang akan digunakan sebagai pembatas reaksi?
  6. Tentukan rendemen reaksinya.


C. Teori

Kondensasi adalah suatu reaksi dimana dua molekul kecil bergabung membentuk satu molekul besar dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil (misalnya molekul air). Kondensasi aldol adalah adisi nukleofilik dari ion enolat terhadap gugus karbonil dengan produk reaksi b-hidroksi keton atau b-hidroksi aldehida, dimana senyawa enolat dan gugus karbonil yang diserang adalah dua senyawa yang sama. Reaksi ini disebut kondensasi aldol karena diturunkan dari aldehida dan alkohol. Contoh suatu kondensasi aldol adalah reaksi antara asetaldehida dengan larutan natrium hidroksida berair, terbentuk ion enolat dalam konsentrasi rendah. Reaksi ini berjalan secara reversibel yaitu pada saat ion enolat ini bereaksi maka akan terbentuk lagi yang baru. Ion enolat bereaksi dengan suatu molekul aldehida lain dengan cara mengadisi pada karbon karbonil untuk membentuk suatu ion alkoksida, yang kemudian merebut sebuah proton dari air untuk menghasilkan aldol produk tersebut. Syarat aldehida untuk dapat berkondensasi aldol adalah harus memiliki Ha terhadap gugus karbonil sehingga aldehida dapat membentuk ion enolat dalam basa. Suatu senyawa karbonil b-hidroksi seperti sebuah aldol mudah mengalami dehidrasi, karena ikatan rangkap dalam produk berkonjugasi dengan gugus karbonilnya. Bila dehidrasi menghasilkan suatu ikatan rangkap yang berkonjugasi dengan suatu cincin aromatik maka dehidrasi berlangsung spontan.
Kondensasi antara aldehida atau keton dengan karbonil dari aldehida atau keton yang lain disebut konensasi aldol silang (cross aldol condensation). Reaksi ini dapat terjadi karena suatu aldehida tanpa hidrogen a tidak dapat membentuk ion enolat sehingga tidak dapat berdimerisasi dalam suatu kondensasi aldol. Tapi jika aldehida ini dicampur dengan aldehida atau keton lain yang memiliki Ha maka kondensasi keduanya dapat terjadi. Suatu kondensasi aldol silang sangat berguna bila hanya satu senyawa karbonil yang memiliki Ha. Jika tidak maka akan diperoleh suatu produk campuran.
Reaksi kondensasi aldol silang yang melibatkan penggunaan senyawa aldehida aromatis dan senyawa alkil keton atau aril keton sebagai reaktannya dikenal sebagai reaksi Claisen schmidt. Reaksi ini melibatkan ion enolat dari senyawa keton yang bertindak sebagai nukleofil untuk menyerang karbon karbonil senyawa aldehida aromatis menghasilkan senyawa b-hidroksi keton, yang selanjutnya mengalami dehidrasi menghasilkan senyawa a,b-keton tak jenuh.

D. Alat dan Bahan

Alat :
  • Satu set alat refluks dengan labu leher tiga 
  • pengaduk magnet
  • alat gelas
  • penyaring buhner
  • Timbangan digital
  • Penentu titik lebur
Bahan : 
  • NaOH
  • aquades 
  • etanol
  • asetofenon
  • benzaldehida.

E. Pengalaman belajar
  1. Menuliskan reaksi yang terjadi
  2. Menghitung jumlah bahan yang diperlukan jika diinginkan hasil sebanyak 6,3g
  3. Menimbang dan siapkan bahan sesuai dengan langkah nomor 2.
  4. Menyiapkan NaOH dalam campuran aquades dan etanol ke dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan pengaduk magnet. Campuran didinginkan dengan pecahan es, selanjutnya asetofenon ditambahkan dengan bertetes-tetes ke dalam campuran sambil diaduk.  Tambahkan sejumlah benzaldehida bertetes-tetes sambil terus diaduk. Pengadukan dilanjutkan pada suhu kamar selama 2 jam. Setelah 2 jam reaksi dihentikan dan amati hasilnya. Jika pada campuran terlihat ada endapan, segera disaring dengan penyaring Buchner. Jika campuran reaksi yang terjadi tidak kelihatan ada endapan, dinginkan  di dalam kulkas selama 12 jam selanjutnya saring dengan penyaring buhner kemudian keringkan.
  5. Menimbang dan menentukan titik lebur,  warna, dan rendemen reaksinya.


F. Tugas setelah praktikum
  1. Mengapa diperlukan pendingin bola sedangkan reaksinya tidak memerlukan pemanasan?
  2. Mengapa asetofenon harus ditambahkan lebih dulu sebelum benzaldehida?
  3. Mengapa reaksi tidak memerlukan panas?

Pustaka
Fessenden R.J., dan Fessenden J.S., 1992, Kimia Organik, Jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Ismiyarto, 1998, Sintesis Senyawa Kalkon dan Flavanon Menggunakan Bahan Dasar Turunan Asetofenon dan Benzaldehida, Tesis pascasarjana UGM, Yogyakarta

Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2006, Kecakapan Hidup (Life Skill), Jakarta


Gambar soxhlet beserta bagian-bagiannya



Keterangan :
  1. Kondensor : berfungsi sebagai pendingin, dan juga untuk mempercepat proses pengembunan. Aliran air pada kondensor bergerak dari bawah ke atas, hal ini dilakukan karena jika aliran air menglir dari atas ke bawah, maka akan terdapat ruang kosong pada kondensor sehingga proses kondensasi gas tidak akan maksimal.
  2. Timbal : berfungsi sebagai wadah untuk sampel yang ingin diambil zatnya.
  3. Pipa F : berfungsi sebagai jalannya uap, bagi pelarut yang menguap dari proses penguapan.
  4. Sifon : berfungsi sebagai perhitungan siklus, bila pada sifon larutannya penuh kemudian jatuh ke labu alas bulat maka hal ini dinamakan 1 siklus. Posisi sifon harus lebih tinggi dari pada sampelnya (agar sampel yang berada diposisi atas tidak terendam oleh pelarut).
  5. Labu alas bulat : berfungsi sebagai wadah bagi sampel dan pelarutnya.
  6. Hot plate : berfungsi sebagai pemanas larutan.
  7. Kertas saring : berfungsi sebagai tempat sampel, dimana tinggi kertas saring tidak boleh melebihi tinggi pipa F, hal ini dikarenakan jika tinggi kertas saring melebihi tinggi pipa F maka uap yang terbentuk akan terhalang oleh kertas saring atau bahkan uap yang terbentuk masuk ke dalamnya dan proses kondensasi akan berlangsung tidak maksimal. Adapun syarat dari tempat sampel yaitu mudah ditembus pelarut dan tidak dapat larut oleh pelarut.
  8. Selang masuk : berfungsi sebagai saluran masuknya air kedalam kondensor.
  9. Selang keluar : berfungsi sebagai saluran keluarnya air dari kondensor



Gambar rotary evaporator beserta bagian-bagiannya



Keterangan:
  1. Hot plate berfungsi untuk mengatur suhu pada waterbath dengan temperatur yang diinginkan (tergantung titik didih dari pelarut).
  2. Waterbathsebagai wadah air yang dipanaskan oleh hot plate untuk labu alas yang berisi “sampel”.
  3. Ujung rotor “sampel” berfungsi sebagai tempat labu alas bulat sampel bergantung.
  4. Lubang kondensorberfungsi pintu masuk bagi air kedalam kondensor yang airnya disedot oleh pompa vakum.
  5. Kondensor berfungsi sebagai pendingin yang mempercepat proses perubahan fasa, dari fasa gas ke fasa cair.
  6. Lubang kondensor berfungsi pintu keluar bagi air dari dalam kondensor.
  7. Labu alas bulat penampung berfungsi sebagai wadah bagi penampung pelarut.
  8. Ujung rotor “penampung” berfungsi sebagai tempat labu alas bulat penampung bergantung.





A. BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

Uji mortalitas larva udang merupakan salah satu metode uji bioaktivitas pada penelitian senyawa bahan alam.. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk sistem bioaktivitas dengan menggunakan larva udang tersebut, antara lain untuk mengetahui residu pestisida, anastetik lokal, senyawa turunan morpin, mikotoksin, karsinogenitas suatu senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternatif metode yang murah untuk uji sitotoksisitas (Hamburger & Hostettmann 1991). 

Senyawa aktif yang memiliki daya bioaktivitas tinggi diketahui berdasarkan nilai Lethal Concentration 50% (LC50), yaitu suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji sampai 50%. Data mortalitas yang diperoleh kemudian diolah dengan analisis probit yang dirumuskan oleh Finney (1971) untuk menentukan nilai LC50 pada derajat kepercayaan 95%. Senyawa kimia memiliki potensi bioaktif jika mempunyai nilai LC50 kurang dari 1.000 μg/ml (Meyer et al. 1982).

Uji BSLT dengan menggunakan larva udang A. salina dilakukan dengan menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A. salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva A. Salina yang baik digunakan untuk uji BSLT adalah yang berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian A. salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al. 1982). Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter berkisar 200-300 μm. Kista berkualitas baik, apabila diinkubasi dalam air berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam. A. salina yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg. Nauplius berangsur-angsur mengalami perkembangan dan perubahan morfologis dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap pergantian kulit disebut instar (Mudjiman 1995).

Keunggulan penggunaan larva udang A. salina untuk uji BSLT ini ialah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan dan harganya yang murah. Sifat peka A. salina kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. A. salina ditemukan hampir pada seluruh permukaan perairan di bumi yang memiliki kisaran salinitas 10-20 g/l, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Larva yang baru saja menetas berbentuk bulat lonjong dan berwarna kemerah-merahan dengan panjang 400 μm dengan berat 15 μg. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (anteluena atau antena I) dan sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian depan di antara kedua sungut kecil tersebut terdapat bintik merah yang berfungsi sebagai mata (oselus). Di belakang sungut besarnya terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian perut (ventral) sebelah depan terdapat labrum (Mudjiman 1983).



Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan yang memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat serta pemakaian pelarut dan cuplikan dalam jumlah sedikit. KLT termasuk kromatografi serapan, dimana sebagai fase diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut larutan pengembang (Gritter dkk., 1991; Stahl, 1985). 
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan pengamatan langsung atau dibawah sinar ultraviolet jika senyawanya berwarna dan pengamatan dengan cahaya biasa atau cahaya ultraviolet setelah disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar UV gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm) (Gritter dkk., 1991). 

a. Fase diam (Lapisan Penyerap) 
Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dnegan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Penyerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur, dan selulosa (Gritter dkk, 1991). 
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985). 

b. Fase gerak (Pelarut Pengembang) 
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). 
Dalam pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksana, karbontetraklorida, benzena, kloroform, eter, etil asetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter dkk., 1991; Sudjadi, 1988). 

c. Harga Rf 
Untuk menggambarkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram dipakai istilah harga Rf (Stahl, 1985). 


Harga Rf  beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985) : 
  1. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan 
  2. Sifat penyerap 
  3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap 
  4. Pelarut dan derajat kemurniannya 
  5. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana 
  6. Teknik percobaan 
  7. Jumlah cuplikan yang digunakan 
  8. Temperatur 
  9. Kesetimbangan 



Uji fitokimia atau  uji kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis, perubahan metabolisme, penyebaran secara alamiah serta fungsi ciologinya (Harborne, 1987).  

A. Steroid / Triterpenoid 
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan  isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. berupa senyawa tanwarna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne, 1987). 
Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya menjadi empat golongan senyawa: triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan triterpenoida dan steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Harborne, 1987). 

B. Alkaloid 
Alkaloida merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, bersifat optis aktif. Kebanyakan alkaloid berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Sebagian besar alkaloid berasa pahit. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi banyak digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). 
Prazat alkaloid yang paling umum adalah asam amino, tetapi kebanyakan biosintesis alkaloid lebih rumit (Harborne, 1987). Beberapa pereaksi uji yang sering digunakan adalah Mayer, Bouchardat dan Dragendorf (Farnsworth, 1966). 

C. Glikosida 
Glikosida adalah suatu senyawa yang bila dihidrolisis akan menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula disebut glikon. Jika bagian gulanya adalah glukosa maka disebut glukosida, sedangkan jika bagian gulanya selain glukosa disebut glikosida (Tyler,1977) 
Menurut Fransworth (1966), pembagian glikosida berdasarkan ikatan yang menghubungkan bagian gula dan bukan gula adalah : 
  1. C-glikosida, jika atom C menghubungkan bagian gula dan bukan gula. Contoh: aloin. 
  2. O-glikosida, jika atom O menghubungkan bagian gula dan bukan gula. Contoh: salisin. 
  3. N-glikosida, Jika atom N menghubungkan bagian gula dan bukan gula. Golongan ini sebagian gulanya bukan gula sebenarnya tetapi derivatnya. Contoh: vidarabin. 
  4. S-glikosida, jika thiol (SH) yang menghubungkan bagian gula dan bagian bukan gula. Contoh: sinigrin. 


D. Flavonoid 
Flavonoid mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya mempunyai struktur C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga atom karbon yang merupakan rantai alifatik (Markham, 1988). 
Dalam tumbuhan flavonoid terikat dengan gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang mungkin terdapat dalam satu tumbuhan dalam bentuk kombinasi glikosida (Harborne, 1987). Aglikon flavonoid (flavonoid tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur (Markham, 1988).

a. Tanin 
Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae terdapat khusus di jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein (Harborne, 1987). 
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin (Harborne, 1987) yaitu : 

1. Tanin terkondensasi 
Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. 

2. Tanin terhidrolisis 
Terdiri dari dua kelas yaitu:
  • Depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini, inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih.
  • Dimer asam galat. Inti molekul berupa senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Tanin terhidrolisis disebut juga elagitanin yang pada hidrolisis menghasilkan asam galat. 



b. Saponin 
Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi. Keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir (Gunawan & Mulyani, 2004) 
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuanya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau pada waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin (Harborne, 1987).

Tabel. Uji Fitokimia
Uji Fitokimia
Standar (warna)
Alkaloid:
a.    Dragendorff
b.    Meyer
c.    Wagner

Endapan merah atau jingga
Endapan putih kekuningan
Endapan coklat
Steroid/triterpenoid
Perubahan dari merah menjadi biru/hijau
Flavonoid
Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau
Saponin
Terbentuk busa
Fenol Hidrokuinon
Warna hijau atau hijau biru
Molisch
Warna ungu antara 2 lapisan
Benedict
Warna hijau/kuning/endapan merah bata
Biuret
Warna ungu
Ninhidrin
Warna biru




A. Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air. Pelarut lain yang juga umum digunakan adalah bahan kimia organik (mengandung karbon) yang juga disebut pelarut organik.
Macam-Macam Pelarut

Solvent
Rumus kimia
Titik didih
Konstanta Dielektrik
Massa jenis
Pelarut Non-Polar
Heksana
CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3
69 °C
2.0
0.655 g/ml
Benzena
C6H6
80 °C
2.3
0.879 g/ml
Toluena
C6H5-CH3
111 °C
2.4
0.867 g/ml
Dietil eter
CH3CH2-O-CH2-CH3
35 °C
4.3
0.713 g/ml
Kloroform
CHCl3
61 °C
4.8
1.498 g/ml
Etil asetat
CH3-C(=O)-O-CH2-CH3
77 °C
6.0
0.894 g/ml
Pelarut Polar Aprotic
1,4-Dioksana
/-CH2-CH2-O-CH2-CH2-O-\
101 °C
2.3
1.033 g/ml
Tetrahidrofuran(THF)
/-CH2-CH2-O-CH2-CH2-\
66 °C
7.5
0.886 g/ml
Diklorometana(DCM)
CH2Cl2
40 °C
9.1
1.326 g/ml
Asetona
CH3-C(=O)-CH3
56 °C
21
0.786 g/ml
Asetonitril (MeCN)
CH3-C≡N
82 °C
37
0.786 g/ml
Dimetilformamida(DMF)
H-C(=O)N(CH3)2
153 °C
38
0.944 g/ml
Dimetil sulfoksida(DMSO)
CH3-S(=O)-CH3
189 °C
47
1.092 g/ml
Pelarut Polar Protic
Asam asetat
CH3-C(=O)OH
118 °C
6.2
1.049 g/ml
n-Butanol
CH3-CH2-CH2-CH2-OH
118 °C
18
0.810 g/ml
Isopropanol (IPA)
CH3-CH(-OH)-CH3
82 °C
18
0.785 g/ml
n-Propanol
CH3-CH2-CH2-OH
97 °C
20
0.803 g/ml
Etanol
CH3-CH2-OH
79 °C
30
0.789 g/ml
Metanol
CH3-OH
65 °C
33
0.791 g/ml
Asam format
H-C(=O)OH
100 °C
58
1.21 g/ml
Air
H-O-H
100 °C
80
1.000 g/ml

Author Name

{picture#http://img09.deviantart.net/8f2d/i/2016/120/e/1/koutetsujou_no_kabaneri__ikoma_by_reijr-da0twud.jpg} I was a blogger who likes to divide the resources that I know to the visitors, and particularly liked the field of technology, design, health and forestry science. {facebook#https://web.facebook.com/icuk.sugiarto.507} {twitter#https://twitter.com/icuksugiarto_sa} {google#https://plus.google.com/u/0/+IcukSugiarto18} {pinterest#https://pinterest.com} {youtube#https://youtube.com}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.